Arsip Saya

Minggu, 02 Januari 2011

Komisi Yudisial

Komisi Yudisial
Adalah lembaga negara hasil amandemen ketiga UUD 1945 yang dibentuk untuk mengawasi perilaku korps kehakiman dan menyeleksi hakim agung.
Dasar hukum dan kewenangan
Lembaga Negara yang terbentuk dari hasil Pasal 24B UUD 1945. Tugas KY mengusulkan pengangkatanhakim agung, dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Lembaga ini diatur lebih lanjut dalam Undang-undang No. 22/2004 tentang Komisi Yudisial.
Pemilihan hakim agung
KY bertugas mendaftar, menyeleksi dan menetapkan serta mengajukan calon hakim agung ke DPR.

Pengawasan perilaku hakim
Selain seleksi hakim agung, KY memiliki 'wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim'. KY bertugas menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim, kemudian memeriksa dugaan pelanggaran itu serta membuat laporan berupa rekomendasi yang disampaikan pada MA dengan tindasan pada Presiden dan DPR.
Namun, metode pengawasan perilaku hakim yang diterapkan KY tak bisa diterima oleh jajaran kehakiman dan menimbulkan friksi diantara keduanya. KY telah berkirim beberapa rekomendasi pelanggaran perilaku hakim kepada MA namun tak pernah digubris.
Konflik berpuncak pada putusan hak uji materil oleh MK yang menyatakan inkonstitusional beberapa ketentuan pokok sehubungan wewenang pengawasan hakim. Antara lain hakim konstitusi bukan merupakan obyek pengawasan KY, serta MK mencabut ketentuan dalam UU No. 22/2004 yang memberikan kewenangan pengawasan hakim kepada KY.
Kejelasan pengawasan hakim ini sedianya akan diperjelas melalui revisi paket UU kekuasaan kehakiman yang masih digodok di DPR.



Sejarah pembentukan
Awalnya, pada 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Lembaga ini sedianya akan difungsikan untuk memberi pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir seputar saran atau usul berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Namun, ide MPPH ini akhirnya tidak jadi dimasukkan dalam UU Kekuasaan Kehakiman.
Tahun 1998, ide itu mencuat kembali, terutama sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim dan maraknya tudingan mafia peradilan. Penyatuan atap dipandang membutuhkan pengawasan eksternal agar cita-cita mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan, dan profesional tercapai. Lembaga eksternal itu diwacanakan harus mandiri. '
'Pada 1999 UU No. 14/1970 tentang Kekuasaan Kehakiman diubah dengan UU No. 35/1999, ide serupaMPPH kembali mencuat, namun dengan nama yang berbeda, yaitu Dewan Kehormatan Hakim (DKH) yang fungsinya pada dasarnya melakukan pengawasan atas perilaku hakim. DKH ini tidak diatur secara eksplisit dalam batang tubuh UU tersebut, namun hanya dinyatakan dalam Penjelasan Umum. Ternyata, selama UU No. 35/1999 berlaku DKH ini tidak pernah dibentuk. Namun, wacana DKH ini merupakan cikal bakal terbentuknya KY. Reformasi peradilan sebagai bagian dari reformasi nasional menuju supremasi hukum, menggiring amandemen UUD melakukan penambahan pasal berkenaan dengan kekuasaan kehakiman.
Ide tentang pengawasan eksternal kepada hakim didedahkan dalam Pasal 24 B UUD 1945 amandemen ketiga. Muncullah KY sebagai lembaga pengawas eksternal dari lembaga penguasa kekuasaan kehakiman. Susunan, kedudukan, Keanggotaan, dan penjabaran tugas-kewajiban lebih lanjut mengenai KY, diatur dalam Undang-Undang No 22/2004 tentang Komisi Yudisial.
Setelah UU itu disahkan, setahun kemudian Komisi Yudisial terbentuk dengan terpilihnya 7 orang Komisioner KY pada 17 Agustus 2005.

Momen penting
KY vs MA
Pada awalnya belum terlihat adanya masalah antara KY dan MA, terutama karena MA cukup terlibat dalam penyusunan konsep dan UU KY. Namun hubungan antar keduanya terlihat mulai retak
Putusan Pilkada Depok
Masalah mulai muncul seputar putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat atas kasus sengketa Pilkada Depok yang cukup menjadi perhatian publik pada akhir 2005. KY merekomendasikan MA agar memberhentikan sementara 3 orang hakim tinggi yang memeriksa perkara itu. Salah satunya, Ketua Pengadilan TinggiJawa Barat Nana Juwana, direkomendasikan KY untuk diberhentikan sementara. MA tak merespon rekomendasi KY itu, namun MA mencopot Nana Juwana dari jabatannya sebagai KPT Jawa Barat dan ditarik ke MA sebagai hakim non-palu.
Seleksi ulang hakim agung
Pada Januari 2006 KY mengeluarkan pernyataan kontroversial, mengusulkan agar seluruh hakim agungdiseleksi ulang. Wacana itu, menurut pimpinan KY, telah dikonsultasikan dengan Presiden dan Presiden mendukungnya. Usulan ini menuai reaksi cukup keras dari MA. Usulan KY ini merupakan bibit konflik antara KY dan MA selanjutnya. Pada awalnya, usulan ini terkesan direspon positif oleh DPR, namun tak lama pandangan DPR berubah. Menteri Hukum dan HAM Hamid Awalluddin pun, yang pada awalnya diklaim KY setuju dengan wacana ini, turut berubah pendapatnya. Rancangan Perpu Seleksi Ulang yang diajukan KY ke Presiden pun tak jelas nasibnya. Usulan Seleksi Ulang Hakim Agung tidak pernah terealisir.
'Hakim bermasalah'
Pada awal Februari 2006 muncul berita di media massa yang bersumber dari KY soal adanya 13 hakim agung yang bermasalah. Pemberitaan ini kembali membuat para hakim agung berang dan hubungan MA dan KY pun kembali memanas. Beberapa hakim agung yang dinyatakan bermasalah , salah satunya Artidjo Alkotsar yang selama ini dikenal bersih, itu mengadukan berita tersebut ke Kepolisian. Tak berapa lama Ketua KY Busyro Muqodas yang juga kolega Artidjo Alkotsar di Universitas Islam Indonesia (UII) meminta maaf atas pemberitaan tersebut. Artidjo mencabut laporannya di Kepolisian. Namun hubungan antara MA dan KY tidak kunjung reda.


Judicial Review UU KY
Konflik ini berpuncak pada Maret 2006, saat 31 orang hakim agung mengajukan permohonan hak uji materil (judicial review) atas beberapa ketentuan dalam UU No. 22/2004 tentang KY. Pada pokoknya permohonan tersebut berargumen KY tak berwenang untuk mengawasi hakim agung dan hakim konstitusi. Pada 16 Agustus 2006 MK memutuskan bahwa hakim konstitusi bukan merupakan obyek pengawasan KY, serta MK mencabut ketentuan dalam UU No. 22/2004 yang memberikan kewenangan pengawasan hakim kepada KY. Sejak saat itu KY kehilangan landasan kewenangannya untuk mengawasihakim.
Struktur
KY terdiri dari 7 anggota (komisioner), dua diantaranya merangkap sebagai Ketua dan Wakil Ketua. Anggota KY dipilih oleh DPR dan dilantik oleh Presiden dari unsur mantan hakim, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat. Anggota KY diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas persetujuan DPR.
Syarat menjadi anggota KY antara lain:
 Berusia minimal 40 tahun dan maksimal 68 tahun tahun pada saat proses pemilihan/seleksi;
 Berpengalaman di bidang hukum minimal 15 tahun;
 Berintegritas dan kepribadian tak tercela;
 Sehat jasmani rohani;
 Tak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan;
 Melaporkan daftar kekayaan.
Komisioner KY dilarang untuk merangkap jabatan sebagai pejabat/penyelenggara negara, hakim, advokat,notaris/PPAT, pengusaha, pengurus/karyawan BUMN/swasta, pegawai negeri, atau pengurus partai politik.


Dalam melaksanakan tugas, komisioner KY dibantu oleh Sekretariat Jendral yang berasal dari unsurpegawai negeri sipil (PNS).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar