BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Suku bangsa Jawa, adalah suku bangsa terbesar di Indonesia. Jumlahnya mungkin ada sekitar 90 juta. Mereka berasal dari pulau Jawa dan terutama ditemukan di provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tetapi di provinsi Jawa Barat banyak ditemukan Suku Jawa, terutama di Kabupaten Indramayu dan Cirebon yang mayoritas masyarakatnya merupakan orang-orang Jawa yang berbahasa dan berbudaya Jawa, dan di Banten dan tentu saja Jakarta mereka banyak diketemukan. Selain suku Jawa baku terdapat subsuku Osing dan Tengger.
Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah polling yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur dan selebihnya terutama bahasa Jawa. Bahasa jawa merupakan bahasa yang sangat sopan dan menghargai orang yang di ajak bicara khususnya bagi orang yang lebih tua dan bahasa jawa juga sangat mempunyai arti yang luas.
Orang Jawa sebagian besar secara nominal menganut agama Islam. Tetapi yang menganut agama Kristen; Protestan dan Katholik juga banyak. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Penganut agama Buddha dan Hindu juga ditemukan pula di antara masyarakat Jawa. Ada pula agama kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai agama Kejawen. Kepercayaan ini terutama berdasarkan kepercayaan animisme dengan pengaruh Hindu-Buddha yang kuat. Masyarakat Jawa terkenal akan sifat sinkretisme kepercayaannya. Semua budaya luar diserap dan ditafsirkan menurut nilai-nilai Jawa sehingga kepercayaan seseorang kadangkala menjadi kabur.
Di Indonesia, orang Jawa bisa ditemukan dalam segala bidang. Terutama bidang Administrasi Negara dan Militer banyak didominasi orang Jawa. Meski banyak pengusaha Indonesia yang sukses berasal dari suku Jawa, orang Jawa tidak menonjol dalam bidang Bisnis dan Industri, banyak diantara suku jawa bekerja sebagai buruh kasar dan tenaga kerja indonesia seperti pembantu, dan buruh di hutan-hutan di luar negeri yang mencapai hampir 6 juta orang.
Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Pakar antropologi Amerika yang ternama, Clifford Geertz, pada tahun 1960an membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum santri, abangan dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam yang taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen, sedangkan kaum Priyayi adalah kaum bangsawan. Tetapi dewasa ini pendapat Geertz banyak ditentang karena ia mencampur golongan sosial dengan golongan kepercayaan. Kategorisasi sosial ini juga sulit diterapkan dalam menggolongkan orang-orang luar, misalkan orang Indonesia lainnya dan suku bangsa non-pribumi seperti orang keturunan Arab, Tionghoa dan India.
Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Tetapi pengaruh Islam dan Dunia Barat ada pula.
Orang Jawa memiliki stereotipe sebagai sukubangsa yang sopan dan halus. Tetapi mereka juga terkenal sebagai sukubangsa yang tertutup dan tidak mau terus terang. Sifat ini konon berdasarkan watak orang Jawa yang ingin menjaga harmoni atau keserasian dan menghindari konflik, karena itulah mereka cenderung untuk diam dan tidak membantah apabila terjadi perbedaan pendapat.
- 2. Rumusan Masalah
Berdasarka pengertian di atas dapat tarik rumusan makalah sebagai berikut :
- Bagaimanakah Perkawinan menurut Adat Jawa ?
- Bagaimana Upacara Adat Kelahiran di Suku Jawa ?
- Berapa Bagian Seorang Janda Dalam Pembagian Waris Menurut Adat Jawa ?
- Seperti Apakah Perkembangan Hukum Islam Pada Suku Jawa ?
- Bagaimana Kehidupan Suku Jawa Dalam Dunia Politik dan Hukum ?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Perkawinan Adat Jawa
Perkawinan Ada Jawa Berbeda dari upacara-upacara perkawinan adat yang berlaku dilingkungan masyarakat adat diluar pulau Jawa, maka upacara perkawinan adat Jawa Tengah atau dikalangan masyarakat adat yang berasal dari Jawa Tengah, tidak begitu jauh berbeda dengan yang berlaku dilingkungan masyarakat adat Pasundan. Dipulau Sumatra antara masyarakat adat yang satu dan masyarakat adat yang lain terdapat perbedaan-perbedaan yang menyolok, walaupun masyarakat adat itu termasuk dalam satu lingkaran hukum adat (adtrechtskringen) sebagaimana pembagian lingkaran hukum adat menurut Van Vallenhoven. Misalnya saja upacara perkawinan adat bagi masyarakat adat “Pepadun” dan masyarakat “Peminggir” dalam lingkungan hukum adat Lampung saja sudah jauh berbeda. Dikalangan Peminggir tidak melakukan adat hibal serba dan turun duway.
Dikalangan masyarakat adat Jawa Tengah setelah pihak pria dan pihak wanita saling menyetujui dalam acara lamaran, dan pihak wanita telah menerima “panjer” atau “paningset” dari pihak pria, maka berlakulah masa pertunangan dan ditentukanlah hari baik untuk melangsungkan perkawinan. Dalam mengambil keputusan untuk melakukan perkawinan tidak perlu meminta persetujuan para anggota kerabat, cukup diselesaikan dan dimusyawarahkan oleh orang tua dan anggota keluarga terdekat.
Dalam masa menanti hari perkawinan pihak keluarga pria akan mengantar calon mempelai pria ke tempat kediamancalon mempelai wanita untuk “nyantri”, untuk membantu pekerjaan-pekerjaan calon mertua yang berat-berat, misalnya nyangkol disawah, ngangon kerbau, dan lain-lain. Calon mempelai pria ini akan menetap diam di rumah keluarga pihak wanita yang ditunjuk itu yang disubut “pondokan temanten”. Dekat pada saat-saat untuk melaksanakan upacara perkawinan pihak keluarga pria telah menyampaikan pula “asok tukon” dan lain-lain.
Menjelang hari perkawinan di tempat mempelai wanita diadakan persiapan dan upacara selamatan pengakhiran masa “ngebleng”, masa menyepikan diri dikamar dan berpuasa beberapa hari sebagai “ilo-ilo” agar mendapat perlindungan dari para ghaib untuk maksud melakukan perkawinan. Biasanya hal ini dilakukan setelah pihak pria mengantar “jodangan”, yaitu usungan barang-barang berupa kotak yang berisi bahan makanan mentah termasuk bumbu-bumbu dan ternak diantar beramai-ramai.
Kemudian para “pinesepuh”, yaitu wanita-wanita yang telah berumur yang bertugas mengurus persiapan mempelai, melaksanakan acara memandikan mempelai wanita dengan air “kembang setaman”. Setelah itu barulah mempelai wanita dihias terutama bentuk rambut dan mukanya. pada malam harinya berlangsung acara malam “midodareni”, yaitu acara tirakatan sampai jauh malam yang dihadiri oleh para anggota keluarga dan tetangga, dan sifatnya berjaga-jaga sepanjang malam “pasian”.
Kemudian para “pinesepuh”, yaitu wanita-wanita yang telah berumur yang bertugas mengurus persiapan mempelai, melaksanakan acara memandikan mempelai wanita dengan air “kembang setaman”. Setelah itu barulah mempelai wanita dihias terutama bentuk rambut dan mukanya. pada malam harinya berlangsung acara malam “midodareni”, yaitu acara tirakatan sampai jauh malam yang dihadiri oleh para anggota keluarga dan tetangga, dan sifatnya berjaga-jaga sepanjang malam “pasian”.
Keesokan harinya setelah mempelai pria mandi dan berpakaian adat jawa yang diurus oleh pinesepuhnya, maka kedua mempelai ditemukan untuk dilakukan akad nikah jika beragama islam atau melaksanakan perkawinan menurut agama atau kepercayaan yang lain.
Kemudian upacara “temu” kedua mempelai dilanjutkan yang disebut “panggih temanten”, dimana kedua mempelai saling berhadapan memegang bingkisan sirih “jambe sinegar”, yaitu bingkisan sirih yang berisi buah pinang belahan, sebelah pada bingkisan pria dan sebelah pada bingkisan wanita. kedua mempelai disuruh saling melemparkan bingkisan sirih itu satu samal ain. Setelah itu kedua mempelai berjalan melangkahi rintangan atau “pasangan”yang berupa pasangan kayu yang biasa dipakai untuk kerbau menarik bajak atau gerobak dan dipasang dimuka jalan masuk “pendopo” (serambi muka) untuk menuju “ndalem” (serambi tengah). Setelah melangkah mempelai pria menginjak telor sehingga kakinya kotor. Mempelai wanita terus berjongkok mempelai pria dengan air kembang setaman dari dalam “bokor” (tempat air) yang sudah disediakan.
Selanjutnya kedua menuju tempat duduk mempelai, jika mempelai wanita anak sulung, maka kedua mempelai digendong, yaitu dilingkari dengan selendang sampai mereka ditempat duduk. Sebelum duduk kedua mempelai saling bertukar “kembar mayang”yaitu batang pisang yang dihiasi “janur” daun kelapa muda dan bunga kelapa (mayang) dan ditempatkan disamping kanan kiri tempat duduk mempelai. Untuk memeriahkan upacara “panggih temanten”, maka jika upacara itu mengundang kesenian wayang kulit, gamelan dibunyikandengan irama “kebo giro”, yaitu irama khusus untuk tamunya temanten.
Adakalanya dilaksanakan juga acara “menimbang temanten”, yang dilakukan oleh ayah mempelai wanita, dimana mempelai pria didudukan diatas pangkuan kaki kanan dan mempelai wanita diatas pangkuan kaki kiri. Pada acara ini ibu mempelai wanita akan bertanya mana yang lebih berat, maka walaupun salah satu lebih berat harus dijawab “sama berat” oleh yang menimbangnya.
Kemudian setelah itu kedua mempelai “nyungkemi” atau “ngabekti”, yaitu berlutut dan memberi salam pada para pinesepuh dan orang-orang tua untuk meminta do’a restu. Selanjutnya kedua mempelai untuk “dahar kembul”, yaitu makan bersama nasi kuning dengan “ingkung ayam”. Di beberapa daerah sering juga setelah selesai upacara kedua mempelai melakukan acara “kirab”, yaitu mengunjungi anggota keluarga tetangga “saeyubing blarak”, yang berkediaman sekampung.
Setelah masa “sepasaran” (lima hari) dari upacara perkawinan dimana tarub sudah dibongkar semua, maka pihak keluarga mempelai pria datang ditempat mempelai wanita untuk menjemput mereka agar ketempat pria beserta semua anggota keluarga mempelai wanita guna acara selamatan ditempat pria. Dalam acara ini jika keluarga mempelai pria mampu dapat pula melaksanakan upacara sebagaimana yang telah berlaku di tempat wanita. Begitu pula setelah masa 35 hari dapat lagi diadakan upacara “selapanan” di tempat mempelai pria dalam benmtuk sederhana yaitu selamatan yang dihadiri anggota-anggota keluarga kedua belah pihak untuk lebih kenal mengenal antara satu sama yang lain.
Setelah selesai semua acara adat dilakukan, maka sesuai dengan hukum adat Jawa yang melaksanakan perkawinan mentas, kedua mempelai telah mulai mengatur kehidupan berumah tangga yang akan berdiri sendiri, dan jika perlu masih didasarkan pada petunjuk nasehat dan modal dari orang tua.
Masih banyak macam upacara-upacara perkawinan adat yang berlaku diberbagai daerah yang tidak mungkin untuk dimuat dalam uraian ini keseluruhannya. Apa yang dikemukakan di atas dalam kenyataannya di masa sekarang sudah banyak yang tidak dilaksanakan lagi, lebih-lebih bagi anggota masyarakat adat yang telah maju cenderung pada upacara-upacara sederhana dan menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Tetapi tidaklah berarti bahwa tata cara dan upacara itu telah hapus sam sekali, oleh karena itu pada kenyataanya masih hidup dikalangan masyarakat adat di desa-desa atau juga kadang-kadang masih berlaku di kota-kota, hanya bentuk sifat dan pelaksanaannya sudah disederhanakan, menurut keadaan dan kemampuan yang bersangkutan.
Salah satu tradisi kelahiran dalam budaya Jawa adalah Selapanan. Upacara Selapanan bertujuan memohon keselamatan bagi si bayi. Perlengkapan upacara yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: – Golongan bangsawan: Nasi tumpeng gudangan, nasi tumpeng kecil yang ujungnya ditancapi tusukan bawang merah dan cabe merah, bubur lima macam, jajan pasar, nasi golong, nasi gurih, sekul asrep-asrepan, pecel ayam, pisang, kemenyan, dan kembang setaman diberi air. – Golongan rakyat biasa: Tumpeng nasi gurih dengan lauk, nasi tumpeng among-among, nasi golong, jenang abang putih, ingkung dan panggang ayam. Upacara terakhir dalam rangkaian selamatan kelahiran yang dilakukan pada hari ke 36 sesuai dengan weton atau hari pasaran kelahiran si bayi. Selapanan diadakan setelah maghrib dan dihadiri oleh si bayi, ayah, dukun, ulama, famili dan keluarga terdekat.
3. Pembagian Waris Berdasarkan Hukum Adat Suku Jawa
dalam hukum adat Jawa seorang janda yang telah lama hidup bersama dengan suami dan telah memperoleh keturunan, maka janda berhak mendapat bagian atas harta kekayaan yang ditinggalkan suami. Adapun besar bagian yang diterima adalah jika janda tersebut mempunyai anak yang belum dewasa maka harta peninggalan suami bisa dikuasai penuh oleh janda asalkan digunakan untuk keperluan sehari-hari untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya. Tetapi setelah anak tersebut dewasa atau telah berkeluarga maka harta peninggalan suami harus dibagi rata antara janda dan anaknya, artinya antara anak dan janda mendapat bagian yang sama besar. Sedangkan pelaksanaan pembagian warisan bagi seorang janda di Pengadilan Negeri Sukoharjo adalah jika pihak-pihak yang bersengketa memutuskan mengakhiri sengketa dengan melakukan perdamaian maka pihak Pengadilan Negeri Sukoharjo tidak berhak ikut campur dalam menentukan besarnya bagian warisan, hal ini berarti bahwa pihak-pihak yang bersengketa lebih memilih menggunakan aturan atau adat istiadat yang berlaku di masyarakat. Disini Pengadilan Negeri Sukoharjo hanya berperan dalam mengesahkan akta perdamaian yang telah dibuat dan disetujui oleh para pihak yang bersengketa. Sedangkan pada kasus yang berakhir dengan putusan maka hakim Pengadilan Negeri Sukoharjo dalam memutus sengketa tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang relevan dengan sengketa yang terjadi.
4. Hukum Islam Pada Suku Jawa
Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, mengembangkan hukum Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren, demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata lainnya. Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktik. Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat juga terjadi. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni, walaupun pernah terjadi peperangan antar kedua pendukung hukum itu.
Fenomena benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa. Benturan itu terjadi hampir merata di daerah-daerah lain, namun proses menuju harmoni pada umumnya berjalan secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang berasal dari “langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka.
5. Suku Jawa Dalam Kehidupan Politik Dan Hukum
Diantara beberapa suku bangsa yang berpengaruh, cara berfikir Suku Jawa kelihatan paling dominan. Dimana jumlah masyarakat Jawa mendominasi kehidupan politik dan pusat pemerintahan berada di Jawa. Pola umum perilaku masyarakat Jawa bahwa mereka cenderung menghindarkan diri pada situasi konflik mereka karena selalu mudah tersinggung. Konsep dalam masyarakat Jawa membentuk pola “tindak-tanduk yang wajar” yang berupa pengekangan emosi dan pembatasan antusiasme serta ambisi. Menyakiti dan menyinggung orang lain dipandang sebagai tindakan yang “kasar”.
Elemen yang tampak dualistis, berakar pada tradisi kehidupan militer dan masyarakat sipil. Pada prinsipnya titik berat antara kedua tradisi bersifat kontradiktif. Tradisi militer mengutamakan hirarki dan komandoyang ketat, segala gerak dan tindakan dibatasi. Militer juga menitikberatkan suasana penciptaan keamanan fisik. Dilain pihak, kelompok sipil dilandasi oleh tradisi penuh keleluasaan dan persamaan. Hirarkinya bersifat jauh lebih longgar dan insidental.
Elemen yang tampak dualistis, berakar pada tradisi kehidupan militer dan masyarakat sipil. Pada prinsipnya titik berat antara kedua tradisi bersifat kontradiktif. Tradisi militer mengutamakan hirarki dan komandoyang ketat, segala gerak dan tindakan dibatasi. Militer juga menitikberatkan suasana penciptaan keamanan fisik. Dilain pihak, kelompok sipil dilandasi oleh tradisi penuh keleluasaan dan persamaan. Hirarkinya bersifat jauh lebih longgar dan insidental.
Pada kebanyakan masyarakat non Barat(non-Anglo Saxon), terutama masyarakat Asia, persepsi yang dimiliki tentang kekuasaan berbeda dengan masyarakat Barat. Perbedaan ini berakar pada perbedaan falsafah yang fundamental mengenai hakekat kedudukan individu dalam masyarakat. Pada masyarakat Asia semangat kerjasama antara anggota masyarakat sangat sentral sehingga kepentingan pribadi individu ditempatkan pada posisi periferal, dimana kepentingan individu mudah dikorbankan untuk kepentingan kolektif. Sedangkan masyarakat non-Asia tidak demikian.
Dalam hubungan sosial diatas, kekuasaan politik timbul dari hubungan antara individu yang menempatkan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadi. Kebersamaan timbul dari proses saling adaptasi antara berbagai kepentingan pribadi. Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat seperti ini, hubungan antara warga masyarakat dengan pemegang kekuasaan secara alamiah berada dalam kondisi yang lebih harmonis bila dibandingkan dengan hubungan yang terdapat di masyarakat Barat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Suku bangsa Jawa, adalah suku bangsa terbesar di Indonesia. Jumlahnya mungkin ada sekitar 90 juta. Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Orang Jawa memiliki stereotipe sebagai sukubangsa yang sopan dan halus. Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Pakar antropologi Amerika yang ternama, Clifford Geertz, pada tahun 1960an membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum santri, abangan dan priyayi. Di Indonesia, orang Jawa bisa ditemukan dalam segala bidang. Terutama bidang Administrasi Negara dan Militer banyak didominasi orang Jawa.
cara berfikir Suku Jawa kelihatan paling dominan. Dimana jumlah masyarakat Jawa mendominasi kehidupan politik dan pusat pemerintahan berada di Jawa. Pola umum perilaku masyarakat Jawa bahwa mereka cenderung menghindarkan diri pada situasi konflik mereka karena selalu mudah tersinggung.
pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata lainnya. Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah.
Adapun besar bagian waris yang diterima adalah jika janda tersebut mempunyai anak yang belum dewasa maka harta peninggalan suami bisa dikuasai penuh oleh janda asalkan digunakan untuk keperluan sehari-hari untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar