Arsip Saya

Senin, 15 November 2010

HTN 2

PUTUSAN
NOMOR 117/PUU-VII/2009
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA
[1.1]  Yang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara konstitusi pada  tingkat pertama dan  terakhir, dengan  ini menjatuhkan putusan dalam perkara Permohonan Pengujian  Undang-Undang  Nomor  27  Tahun  2009  tentang  Majelis Permusyawaratan  Rakyat,  Dewan  Perwakilan  Rakyat,  Dewan  Perwakilan  Daerah, dan    Dewan  Perwakilan  Rakyat  Daerah  terhadap  Undang-Undang  Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh:
[1.2]  1.  WAHIDIN  ISMAIL,  Anggota  Dewan  Perwakilan  Daerah  Republik Indonesia dari Provinsi Papua Barat, beralamat di Jalan Gatot Subroto Nomor 6 Jakarta;
2.  MARHANY VICTOR POLY PUA, Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik  Indonesia  dari  Provinsi  Sulawesi  Utara,  beralamat  di  Jalan Gatot Subroto  Nomor 6 Jakarta;
3.  SRI  KADARWATI,  Anggota  Dewan  Perwakilan  Daerah  Republik  Indonesia  dari  Provinsi  Kalimantan  Barat,  beralamat  di  Jalan  Gatot  Subroto  Nomor 6 Jakarta;
4.  K. H. SOFYAN YAHYA, Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik  Indonesia dari Provinsi Jawa Barat, beralamat di  Jalan Gatot Subroto   Nomor 6 Jakarta;
5.  INTSIAWATI  AYUS,  Anggota  Dewan  Perwakilan  Daerah  Republik  Indonesia dari Provinsi Riau, beralamat di Jalan Gatot Subroto  Nomor  6 Jakarta;
Berdasarkan  Surat  Kuasa  Khusus  bertanggal  12  Agustus  2009  memberikan   kuasa   kepada:
1)   Dr.   Todung   Mulya Lubis, S.H., LL.M,
2)  Dr.  Tommy    S.  Bhail.,  LL.M,
3)    Alexander  Lay,  S.H.,  LL.M.,
4) Taufik Basari, S.H., S.Hum, LL.M.,
5) B. Cyndy Panjaitan, S.H., dan
6) Dr. Tommy  Sihotang, S.H., LL.M.
Kesemuanya  adalah  Advokat  dan  Konsultan Hukum  yang memilih domisili hukum di Kantor Hukum LUBIS, SANTOSA  &  MAULANA  yang   beralamat  di  Mayapada  Tower,  Lantai  5  Jalan Jenderal Sudirman Kav. 28, Jakarta Pusat, untuk selanjutnya disebut sebagai—————————————————————— para Pemohon.
[1.3]  Membaca permohonan dari para Pemohon
Mendengar keterangan dari para Pemohon;
Mendengar  dan  membaca  keterangan  tertulis  dari  Dewan  Perwakilan Rakyat;
Mendengar dan membaca keterangan tertulis dari Pemerintah;
Memeriksa bukti-bukti yang diajukan oleh para Pemohon;
Mendengar keterangan ahli dari para Pemohon;
Membaca kesimpulan tertulis dari para Pemohon;
2. DUDUK PERKARA
[2.1] Menimbang  bahwa  para  Pemohon  mengajukan  surat  permohonan bertanggal  1  September  2009  yang  diterima  dan  terdaftar  di  Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 1 September 2009 dengan registrasi Nomor 117/PUU-VII/2009 dan diperbaiki dengan surat  permohonan  bertanggal  7  September  2009  yang  diterima  Kepaniteraan Mahkamah pada  tanggal 7 September 2009,  yang mengemukakan hal-hal sebagai berikut.
I.  Kewenangan Mahkamah Konstitusi
1.  Para  Pemohon memohon  agar Mahkamah  Konstitusi   melakukan  pengujian terhadap  Pasal  14  ayat  (1) Undang-Undang Nomor  27 Tahun  2009  tentang Majelis  Permusyawaratan  Rakyat,  Dewan  Perwakilan  Rakyat,  Dewan  Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
2.  Sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 10 ayat  (1)  huruf  (a)  Undang-undang  No.  24  Tahun  2003  tentang  Mahkamah Konstitusi  (selanjutnya disebut UU MK),  salah  satu  kewenangan Mahkamah Konstitusi  adalah  melakukan  pengujian  undang-undang  (judicial  review) terhadap  Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  1945
(selanjutnya disebut UUD 1945).  Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 antara lain menyatakan, “Mahkamah Konstitusi  berwenang   mengadili    pada  tingkat  pertama  dan  terakhir  yang putusannya bersifat    final    untuk    menguji  undang-undang  terhadap  Undang-Undang Dasar, …..”.  Lebih  lanjut,  Pasal  10  ayat  (1)  huruf  a  UU  MK  antara  lain  menyatakan, ”Mahkamah  Konstitusi  berwenang  mengadili  pada  tingkat  pertama  dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
a)  menguji  undang-undang  terhadap  Undang-Undang  Dasar  Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ….
3.  Selain  itu,  Pasal  7  Undang-Undang  Nomor  10  Tahun  2004  tentang  Pembentukan  Peraturan  Perundang-undangan  mengatur  bahwa  secara hierarkis  kedudukan  UUD  1945  lebih  tinggi  dari  Undang-Undang,  oleh  karenanya  setiap  ketentuan  Undang-Undang  tidak  boleh  bertentangan dengan  UUD  1945.  Jika  terdapat  ketentuan  dalam  Undang-Undang  yang  bertentangan dengan UUD 1945, maka ketentuan tersebut dapat dimohonkan untuk diuji melalui mekanisme pengujian Undang-Undang.
4.  Berdasarkan  hal-hal  tersebut  di  atas,  maka  Mahkamah  berwenang  untuk memeriksa, mengadili dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang ini.
II.  Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon
5.  Para Pemohon  adalah  anggota DPD  periode 2004-2009,  berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 137/M Tahun 2004 tanggal 23 September 2004 yang menetapkan nama-nama anggota DPD masa  jabatantahun  2004-2009  (Bukti  P-3),  dan  dengan  demikian  adalah  anggota Majelis Permusyawaratan  Rakyat  (MPR)  periode  2004-2009,  yang  telah  terpilih kembali  menjadi  anggota  DPD  untuk  periode  2009-2014  melalui  Pemilihan Umum  Tahun  2009  berdasarkan  SK  Komisi  Pemilihan  Umum  Nomor 287/Kpts/KPU/Tahun  2009  (Bukti  P-4),  dan  dengan  demikian  dengan sendirinya akan menjadi anggota MPR periode 2009-2014.
6.  Pasal 51 ayat (1) UU MK menyatakan:
”Pemohon  adalah  pihak  yang  menganggap  hak  dan/atau  kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu:
a.  perorangan warga negara Indonesia;
b.  kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.  badan hukum publik atau privat; atau
d.  lembaga negara.”
Selanjutnya  Penjelasan  Pasal  51  ayat  (1)  UU  MK  menyatakan,  “Yang dimaksud  dengan  “hak  konstitusional”  adalah  hak-hak  yang  diatur  dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”
7.  Berdasarkan ketentuan di atas, maka terdapat dua syarat yang harus dipenuhi untuk menguji apakah para Pemohon memiliki  legal  standing dalam perkara Pengujian  Undang-undang.  Syarat  pertama  adalah  kualifikasi  untuk  bertindak sebagai pemohon sebagaimana diuraikan dalam Pasal 51 ayat  (1)  UU MK. Syarat  kedua  adalah hak dan/atau kewenangan  konstitusional para Pemohon tersebut dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang.
8.  Sebagaimana disampaikan di atas, para Pemohon adalah anggota DPD yang merupakan  “perorangan  (kelompok  orang)  warga  negara  Indonesia”, sebagaimana  yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat  (1) UU MK. Oleh  karena itu,  para Pemohon memiliki  kualifikasi  sebagai  pemohon  pengujian  undang-undang.
9.  Para  Pemohon  adalah  anggota  DPD  periode  2004-2009,  dan  dengan demikian adalah anggota MPR periode 2004-2009, yang telah terpilih kembalimenjadi anggota DPD untuk periode 2009-2014 melalui Pemilu Tahun 2009, dengan  demikian  dengan  sendirinya  akan  menjadi  anggota  MPR  periode 2009-2014.
10. Pasal 14 ayat  (1) UU MPR, DPR, DPD,  dan DPRD menyatakan,  “Pimpinan MPR  terdiri atas 1  (satu) orang ketua yang berasal dari DPR dan 4  (empat) orang  wakil  ketua  yang  terdiri  atas  2  (dua)  orang  wakil  ketua  berasal  dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR.” Dengan  berlakunya  Pasal  14  ayat  (1),  maka  hak-hak  konstitusional  para Pemohon sebagai warga negara anggota MPR yang dijamin oleh Pasal 2 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 dirugikan.
11. Pasal 2  ayat  (1) UUD  1945 menyatakan,  ”Majelis  Permusyawaratan Rakyat terdiri  atas  anggota  Dewan  Perwakilan  Rakyat  dan  anggota  Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Ketentuan UUD 1945  ini melahirkan norma  konstitusi bahwa Para Pemohon yang  merupakan  anggota  MPR  yang  berasal  dari  DPD  memiliki  hak  yang setara  dengan anggota MPR yang  berasal dari DPR,  termasuk hak memilih dan  dipilih  sebagai  Ketua MPR.  Lebih  lanjut,  konstruksi  ketentuan  Pasal  2 ayat (1) UUD 1945  ini, sebagaimana akan diuraikan  lebih  rinci  lagi pada Bab III. Permohonan  ini,  juga melahirkan norma bahwa hak dan kewajiban setiap anggota MPR adalah setara.
12. Sementara  itu,  Pasal  14  ayat  (1)  UU  MPR,  DPR,  DPD,  dan  DPRD menyebabkan  kerugian  terhadap  hak  konstitusional  para  Pemohon  yang timbul berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945, yakni hak yang setara untuk dipilih menjadi Ketua MPR. Adanya Frasa  ”yang  berasal dari  anggota DPR” dalam Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD  tersebut membuat para  Pemohon,  yakni  anggota  MPR  yang  berasal  dari  DPD  ditempatkan dalam  kedudukan yang  tidak setara dengan anggota MPR yang berasal dari DPR.
13. Lebih  jauh,  frasa    “yang berasal dari anggota DPR” dalam Pasal 14 ayat  (1) UU MPR. DPR, DPD dan DPRD  juga melanggar hak-hak konstitusional para Pemohon  yang  dijamin  dan  dilindungi  oleh  UUD  1945  dalam  pasal-pasal berikut:
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menyatakan, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya  di  dalam  hukum  dan  pemerintahan  dan  wajib  menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Pasal  28D  ayat  (1)  UUD  1945  menyatakan,  ”Setiap  orang  berhak  atas pengakuan,  jaminan,  perlindungan,  dan  kepastian  hukum  yang  adil  serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Pasal  28D  ayat  (3)  UUD  1945  menyatakan,  ”Setiap  warga  negara  berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Sebagaimana  akan  diuraikan  lebih  lanjut  pada  Bab  III  Permohonan  ini, adanya  frasa  ”yang berasal dari anggota DPR” dalam Pasal 14 ayat  (1) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD menyebabkan terjadinya kerugian terhadap hak-hak konstitusional para Pemohon atas kesamaan kedudukan di dalam hukum dan  pemerintahan, kepastian hukum  yang adil dan  perlakuan  yang  sama di hadapan  hukum,  serta  kesempatan  yang  sama  dalam  pemerintahan.  Frasa ”yang berasal dari anggota DPR” dalam Pasal 14 ayat (1)  ini menghilangkan hak  konstitusional  para  Pemohon  untuk  diperlakukan  sama  dan  setara dengan anggota MPR lain yang berasal dari DPR, dalam hal  ini hak anggota MPR yang berasal dari DPD untuk dipilih menjadi Ketua MPR.
14. Untuk  saat  ini, para Pemohon, sebagai  individu anggota DPD periode 2004-2009  yang  terpilih  kembali  untuk  periode  2009-2014,  merasa  dirugikan kepentingan  dan hak konstitusionalnya sebatas pada frasa ”yang berasal dari anggota  DPR”  dalam  Pasal  14  ayat  (1)  UU  MPR,  DPR,  DPD  dan  DPRD. Sementara untuk  frasa  lain dalam Pasal 14 ayat (1)  tersebut atau pun dalam ketentuan  pasal-pasal  dan  ayat-ayat  lainnya.  Para  Pemohon  belum  merasa hak  konstitusionalnya  dirugikan  karena  ketentuan-ketentuan  lainnya  tersebut tidak menutup hak para Pemohon untuk menjadi Ketua MPR dan Wakil Ketua MPR.
15. Berdasarkan  seluruh  uraian  di  atas  menunjukkan  bahwa  para  Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagai Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang ini.
III. Alasan-alasan Pengajuan Permohonan
A.  UUD  1945  Menjamin  Kesetaraan  dan  Kesamaan  Kedudukan  Seluruh Anggota MPR
15.  Pasal  2  ayat  (1)  UUD  1945  menyatakan,  “Majelis  Permusyawaratan Rakyat  terdiri  atas  anggota  Dewan  Perwakilan  Rakyat  dan  anggota Dewan  Perwakilan  Daerah  yang  dipilih  melalui  pemilihan  umum  dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang.”  Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 tersebut, MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD.
16.  Kemudian,  konsekuensi  dari  ketentuan  Pasal  2  ayat  (1)  UUD  1945  di atas adalah bahwa  tiap-tiap anggota MPR memiliki  kedudukan dan hak yang sama,  termasuk hak memilih dan dipilih, dalam hal  ini hak memilih dan dipilih sebagai Ketua MPR.
17.  Norma  yang  timbul  dari  pasal  konstitusi  tersebut  adalah  adanya persamaan dan kesetaraan antara anggota MPR yang berasal dari DPD dan anggota MPR yang berasal dari DPR sehingga, antara anggota DPR dan  anggota  DPD  yang  bersama-sama  menjadi  anggota  MPR  tidak boleh  ada  yang  dibedakan  atau  pun  ditempatkan  lebih  rendah  antara satu dengan yang lain.
18.  Dalam hal memilih pimpinan MPR, baik anggota MPR yang berasal dari DPR maupun  anggota MPR  yang  berasal  dari DPD memiliki  hak  yang sama  untuk  menjadi  Ketua  MPR.  Oleh  karena  itu,  tidak  boleh  ada ketentuan  yang  menghalangi  anggota  MPR  dari  unsur  lembaga  DPD maupun  anggota  MPR  dari  unsur  lembaga  DPR  untuk  menjadi  Ketua MPR.
19.  Namun, oleh karena anggota MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD,  maka  komposisi  Pimpinan  MPR  tetap  harus  memperhatikan keterwakilan  unsur  kedua  lembaga  tersebut  sehingga  tercermin kesetaraan dan  persamaan  antara anggota  keduanya  di MPR. Dengan demikian  tidak boleh  terdapat ketentuan atau norma yang menutup hak salah satu unsur anggota MPR (baik dari DPD atau dari DPR) sekaligus juga  memberikan  keistimewaan (privilege)  kepada  salah  satu  unsur anggota MPR (baik dari DPD atau dari DPR).
20.  Sebenarnya, wujud dari kesetaraan dan persamaan kedudukan anggota kedua  lembaga  tersebut  sebagai  anggota  MPR  tercermin  dalam komposisi Wakil Ketua MPR dalam  ketentuan Pasal  ayat  (1) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD, yakni 2 (dua) dari anggota DPR dan 2 (dua) dari anggota  DPD  sehingga  baik  anggota  MPR  yang  berasal  dari  DPD maupun anggota MPR yang berasal dari DPR  sama-sama dapat dipilih menjadi Wakil Ketua MPR.
21.  Namun  ternyata  tidak  demikian  halnya  dengan  Ketua  MPR,  Pasal  14 ayat  (1)  UU  MPR,  DPR,  DPD  dan  DPRD  jelas-jelas  memberikan keistimewaan kepada anggota MPR yang berasal dari DPR karena telah menentukan bahwa Ketua MPR berasal dari DPR dengan adanya  frasa “yang  berasal  dari  anggota  DPR”  dalam  Pasal  14  ayat  (1)  tersebut.  Frasa “yang berasal dari anggota DPR” dalam Pasal 14 ayat (1) ini jelas-jelas  membedakan  kedudukan  anggota  MPR  yang  berasal  dari  DPD dengan  anggota  MPR  yang  berasal  dari  DPR  dan  menegasikan  hak anggota MPR yang berasal dari DPD.
B.  UUD  1945  Menjamin  Hak  Atas  Persamaan  Kedudukan,  Hak  atas Kepastian  Hukum  yang  Adil,  Hak  Mendapat  Perlakuan  Sama  di  Depan Hukum  dan  Hak  Atas  Kesempatan  yang  Sama  Dalam  Suatu Pemerintahan Seluruh Anggota MPR.
(1)  Setiap anggota MPR memiliki hak yang sama dan setara
22.  Pasal  27  ayat  (1)  UUD  1945  menyatakan,  “Segala  warga  negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Pasal 28D ayat  (1) UUD 1945 menyatakan,  ”Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”  Pasal  28D  ayat  (3)  UUD  1945  menyatakan,  ”Setiap  warga  negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Norma-norma konstitusi di atas mencerminkan prinsip-prinsip hak asasi manusia  yang  berlaku  bagi  seluruh  manusia  secara  universal.  Dalam kualifikasi  yang  sama,  setiap manusia,  termasuk  di  dalamnya  anggota MPR yang berasal dari DPD, memiliki hak-hak tersebut tanpa boleh ada perlakuan berbeda.
23.  Sebagai  anggota  MPR,  tiap-tiap  anggota,  baik  itu  anggota MPR  yang berasal dari DPR maupun anggota MPR yang berasal dari DPD, memiliki hak-hak  untuk  memperoleh  persamaan  kedudukan  dalam  hukum  dan pemerintahan, mendapatkan kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama  di  depan  hukum  dan  kesempatan  yang  sama  dalam  suatu pemerintahan, sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
24.  Oleh karena itu, setiap ketentuan yang sengaja memberikan pembedaan, perlakuan  yang  tidak  sama,  penempatan  kedudukan  yang  tidak seimbang dan  tidak adil serta menghalang-halangi kesempatan anggota MPR  dari  unsur  tertentu  untuk  menjadi  Ketua  MPR  adalah  ketentuan yang  melanggar  prinsip-prinsip  hak-hak  asasi  manusia  sebagaimana dilindungi oleh Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat
(3) UUD 1945.
(2)  Setiap anggota MPR baik yang berasal dari DPR maupun yang berasal dari DPD berhak untuk memilih dan dipilih sebagai Ketua MPR.
25.  Dengan demikian, berdasarkan uraian di atas, karena  tiap-tiap anggota MPR  baik  yang  berasal  dari  DPR  maupun  dari  DPD memiliki  hak-hak yang  sama  maka  dengan  sendirinya  seluruh  anggota  MPR  tanpa memandang  lembaga  asalnya memiliki  hak  yang  sama  untuk  memilih dan dipilih sebagai Ketua MPR.
26.  Persamaan  hak  ini  merupakan  bagian  dari  pengakuan  hak-hak  yang dimiliki setiap anggota MPR yang harus tidak boleh dibedakan dan harus diperlakukan secara adil.
C. Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD sepanjang menyangkut frasa ”yang berasal dari DPR” bertentangan dengan UUD 1945.
27.  Pasal  14  ayat  (1)  UU  MPR,  DPR,  DPD,  dan    DPRD  menyatakan, “Pimpinan MPR  terdiri atas 1  (satu) orang ketua yang berasal dari DPR dan  4  (empat)  orang wakil  ketua  yang  terdiri  atas  2  (dua)  orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2  (dua) orang wakil  ketua berasal dari anggota DPD, yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR.” Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD, dan   DPRD  tersebut sepanjang menyangkut  frasa  ”yang  berasal  dari DPR”  bertentangan  dengan UUD 1945, khususnya Pasal 2 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
28.  Dalam hal Ketua MPR, ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD, dan  DPRD  tersebut  menunjukkan  ketidaksetaraan  kedudukan  anggota MPR  yang  berasal dari DPD  dibandingkan  dengan  kedudukan  anggota MPR yang berasal dari DPR. Kedudukan anggota MPR yang berasal dari DPD  ditempatkan  dalam  posisi  yang  lebih  rendah  dibandingkan kedudukan anggota MPR yang berasal dari DPR.
29.  Pasal  14  ayat  (1)  UU  MPR,  DPR,  DPD,  dan    DPRD  secara  tegas menyatakan  bahwa  Ketua MPR  harus  berasal  dari  DPR. Dengan  kata lain,  hak  menjadi  Ketua  MPR  hanya  dimiliki  oleh  anggota  MPR  yang berasal dari DPR sementara anggota MPR dari DPD  tidak berhak untuk memilih dan dipilih sebagai Ketua MPR.
30.  Adanya frasa ”yang berasal dari DPR” dalam Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR,  DPD,  dan    DPRD  tersebut  bertentangan  Pasal  2  ayat  (1)  UUD 1945  yang  menyatakan:  ”Majelis  Permusyawaratan  Rakyat  terdiri  atas anggota  Dewan  Perwakilan  Rakyat  dan  anggota Dewan  Perwakilan Daerah …”.
31.  Dari aspek  tata bahasa dan  redaksional, kata  ”dan” dalam Pasal 2 ayat (1)  UUD  1945  menunjukkan  adanya  kesetaraan  antara  anggota  MPR yang  berasal  dari  DPR  dengan  anggota MPR  yang  berasal  dari  DPD, bukan perbedaan kedudukan dan ketidaksetaraan. Setiap anggota MPR memiliki  kewenangan,  tugas,  hak,  dan  kewajiban  yang  sama  sebagai anggota  MPR  tanpa  perbedaan  sama  sekali  bagi  anggota  MPR  yang berasal  dari DPD maupun  anggota MPR  yang  berasal  dari DPR. Olehkarena  itu,  Pasal  14  ayat  (1)  UU MPR, DPR,  DPD,  dan   DPRD  yang menutup  hak  anggota  MPR  yang  berasal  dari  DPD,  termasuk  para Pemohon  untuk  memilih  dan  dipilih  sebagai  Ketua  MPR,  dan menempatkan  kedudukan  anggota  DPD  dalam  keanggotaan  MPR menjadi tidak setara, bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945.
32.  Dalam  naskah  UUD  1945  sebelum  perubahan,  Pasal  2  ayat  (1) menyatakan,  “Majelis  Permusyawaratan  Rakyat  terdiri  atas  anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, menurut aturan yang ditetapkan dengan undang-undang,” sedangkan dalam UUD 1945 hasil perubahan, Pasal  2  ayat  (1)-nya  menyatakan,  “Majelis  Permusyawaratan  Rakyat terdiri  atas  anggota  Dewan  Perwakilan  Rakyat  dan  anggota  Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur  lebih lanjut dengan undang-undang”. Penggantian  kata  ”ditambah  dengan”  dengan  kata  ”dan”  dalam  ayat tersebut  mengandung  makna  bahwa  UUD  1945  hasil  perubahan menghendaki  dan  memastikan  adanya  kesetaraan  seluruh  anggota MPR,  baik  yang  merupakan  representasi  daerah  maupun  yang merupakan representasi partai politik.
33.  Selanjutnya, Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD tersebut sepanjang  menyangkut  frasa  “yang  berasal  dari  anggota  DPR”  juga bertentangan  dengan  Pasal  27  ayat  (1)  UUD  1945  karena  tidak menjamin  bahwa  segala  warga  negara  bersamaan  kedudukannya  di dalam hukum dan pemerintahan.
34.  Sebagai  sesama  anggota  MPR,  baik  yang  berasal  dari  DPR  maupun yang berasal dari DPD seharusnya bersamaan kedudukannya di dalam lembaga  MPR,  termasuk  dalam  hal  hak  memilih  dan  dipilih  sebagai Ketua  MPR.  Ketentuan  Pasal  14  ayat  (1)  UU  MPR,  DPR,  DPD,  dan DPRD, yang memuat  frasa bahwa Ketua MPR harus berasal dari DPR, telah  menempatkan  anggota  DPD  tidak  sama  kedudukannya  dengan anggota DPR dalam lembaga MPR meskipun sama-sama anggota MPR.
35.  Para  Pemohon  yang  merupakan  warga  negara  Indonesia  yang  terpilih menjadi  anggota  DPD  telah  dirugikan  hak  konstitusionalnya  oleh ketentuan Pasal 14 ayat  (1) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD  ini akibat adanya  frasa  “yang  berasal  dari  DPR”  karena  para  Pemohon ditempatkan  dalam  kedudukan  yang  tidak  sama  meskipun  memiliki kualifikasi yang sama, yakni sama-sama anggota MPR dan sama-sama dipilih  melalui  Pemilu.  Oleh  karena  itu,  frasa ”yang  berasal  dari  DPR” dalam Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD, dan  DPRD bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
36.  Frasa ”yang berasal dari DPR” dalam Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD tersebut juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD  1945  karena  tidak  memberikan  kepastian  hukum  yang  adil  dan perlakuan yang sama di hadapan hukum. Sebab, ada sebagian anggota MPR yang memiliki hak memilih dan dipilih sebagai Ketua MPR dan ada sebagian  lain anggota MPR yang  tidak memiliki hak memilih dan dipilih sebagai Ketua MPR. Padahal mereka adalah sama-sama anggota MPR; dan  mereka  sama-sama  menjadi  anggota  MPR  tersebut  dengan  cara dipilih  langsung  oleh  rakyat  melalui  Pemilu  yang  sama,  oleh  rakyat
pemilih yang sama, dengan Undang-Undang yang sama, serta di bawah KPU yang sama.
37.  Dengan demikian, frasa ”yang berasal dari DPR” dalam Pasal 14 ayat (1) UU  MPR,  DPR,  DPD,  dan  DPRD  merugikan  hak  konstitusional  para Pemohon atas kepastian hukum  yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
38.  Lebih  lanjut,  frasa ”yang berasal dari DPR” dalam Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD  tersebut  juga bertentangan dengan Pasal 28D  ayat  (3)  UUD  1945  karena  tidak  memberikan  kesempatan  yang sama dalam pemerintahan kepada setiap warga negara.
39.  Setiap  warga  negara  memiliki  kesempatan  yang  sama  untuk mencalonkan  diri  menjadi  anggota  DPD  maupun  anggota  DPR.  Oleh karena  itu,  ketika mereka  telah  terpilih melalui Pemilu  yang sama, oleh rakyat pemilih yang sama, dengan Undang-Undang yang sama, serta di
bawah KPU  yang  sama,  dan dengan  demikian  sama-sama merupakan anggota  MPR,  konsekuensi  lanjutannya  adalah,  mengingat  mereka adalah  warga  negara  yang  berada  pada  kualifikasi  yang  sama  (yakni anggota  MPR),  mereka  harus  memiliki  kesempatan  yang  sama  untuk memilih dan dipilih menjadi Ketua MPR.
40.  Namun ketentuan frasa “yang berasal dari DPR” dalam Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD  ini membuat para anggota MPR  tidak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan, dalam hal ini kesempatan  yang  sama  untuk memilih dan  dipilih  sebagai Ketua MPR: ada  sebagian  anggota  MPR  yang  memperoleh  kesempatan  untuk memilih  dan  dipilih  sebagai  Ketua  MPR,  ada  sebagian  anggota  MPR yang  tidak  memperoleh  kesempatan  untuk  dipilih menjadi  Ketua MPR, padahal mereka semua adalah sama-sama anggota MPR.
41. Dengan demikian, frasa ”yang berasal dari DPR” dalam Pasal 14 ayat (1) UU  MPR,  DPR,  DPD,  dan  DPRD  merugikan  hak  konstitusional  para Pemohon  untuk  memperoleh  kesempatan  yang  sama  dalam pemerintahan yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
D.  Sepanjang menyangkut pemilihan Ketua MPR, kata “ditetapkan” dalam Pasal  14  ayat  (1)  UU  MPR,  DPR,  DPD,  dan  DPRD  harus  ditafsirkan bahwa Ketua MPR dipilih dan ditetapkan dalam sidang paripurna MPR.
42. Dengan dinyatakannya frasa  yang  berasal  dari  anggota  DPR”  dalam Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD bertentangan dengan UUD  1945  dan  tidak  memiliki  kekuatan  hukum  mengikat  maka  bunyi Pasal tersebut menjadi:   “Pimpinan MPR  terdiri  atas  1  (satu)  orang  ketua  dan  4  (empat)  orang wakil ketua yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua dari anggota DPR dan  2  (dua)  orang  wakil  ketua  berasal  dari  anggota  DPD,  yang ditetapkan oleh sidang paripurna MPR”.
43. Para Pemohon menyadari  bahwa bila  frasa  “yang  berasal  dari  anggota DPR”  dihilangkan  maka  Pasal  14  ayat  (1)  UU  MPR,  DPR,  DPD  dan DPRD  akan  diam  (silent)  atau  tidak mengatur secara  tegas  bagaimana Ketua MPR dipilih dan ditetapkan.
44. Sebagai  konsekuensi  logis  dari  dinyatakannya  frasa  “yang  berasal  dari anggota DPR” dalam Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagai bertentangan dengan konstitusi dan  tidak mempunyai  kekuatan hukum  mengikat  maka  kata  “ditetapkan”  dalam  ayat  tersebut  harus ditafsirkan  secara  conditionally  constitusional  bahwa  sepanjang menyangkut  Ketua  MPR,  penetapannya  harus  melalui  suatu musyawarah untuk mufakat dalam sidang paripurna MPR atau  jika  tidak berhasil mencapai mufakat harus melalui suatu pemilihan Ketua MPR di dalam sidang paripurna MPR, yang ketentuan mekanisme lebih lanjutnya akan ditentukan lebih anjut dalam peraturan tata tertib MPR.
45. Oleh  karena  itu,  agar  memperoleh  kepastian  hukum  maka  kata  “di tetapkan”  dalam  Pasal  14  ayat  (1)  UU  MPR,  DPR,  DPD  dan  DPRD menyangkut  pemilihan  dan  penetapan  Ketua  MPR  harus  ditafsirkan sebagai berikut:
a.  Ketua MPR dipilih secara musyawarah untuk mufakat dan ditetapkan dalam sidang paripurna MPR;
b.  Dalam  hal  musyawarah  untuk  mufakat  tidak  tercapai,  Ketua  MPR dipilih  oleh  anggota  MPR  dan  ditetapkan  dalam  sidang  paripurna MPR.
46. Untuk memperjelas makna dan untuk menjamin terwujudnya kesetaraan maka mekanisme pemilihan Pimpinan MPR sesuai dengan Pasal 14 ayat (1) tanpa frasa “yang berasal dari anggota DPR” juncto Pasal 14 ayat (2), ayat  (3),  ayat  (4),  ayat  (5)  dan  ayat  (8)  dilakukan  dengan  ketentuan:
Ketua MPR dipilih dari para Wakil Ketua MPR, yaitu 2 (dua) orang Wakil Ketua  MPR  dari  hasil  rapat  paripurna  DPR  dan  2  (dua)  orang Wakil Ketua MPR  hasil  sidang  paripurna  DPD.  Apabila  salah  satu  Pimpinan MPR  sebagaimana yang dimaksud Pasal 14 ayat  (2), ayat  (3), ayat  (4) dan ayat (5) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD terpilih sebagai Ketua MPR maka  lembaga  asal  MPR  yang  terpilih  tersebut  segera  mengusulkan penggantinya  untuk  ditetapkan  sebagai  Pimpinan  MPR  dalam  sidang paripurna MPR sehingga ketentuan mengenai 2 (dua) orang wakil ketua dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua dari anggota DPD tetap terpenuhi.
47. Dengan  adanya  penafsiran  conditinally  constitutional  sebagaimana uraikan  di  atas maka  hak  para  Pemohon  sebagai  anggota MPR  yang berasal dari DPD  untuk  dipilih menjadi Ketua MPR  tidak  lagi  terhalangi sehingga  terwujud  kesetaraan sebagaimana  dimaksud Pasal  2 ayat  (1) UUD  1945  dan  tidak  ada  lagi  penghalang  hak  konstitusional  para Pemohon  sebagaimana  dijamin dan  dilindungi Pasal 27  ayat  (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945.
IV. Kesimpulan
48. Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut.
1)  MPR  terdiri  atas  anggota  DPR  dan  anggota  DPD  yang  dipilih  melalui Pemilu.
2)  Setiap  anggota MPR,  baik  yang  berasal dari DPR maupun  yang  berasal dari DPD memiliki kedudukan hukum yang setara dan sederajat.
3)  Setiap  anggota MPR  baik  yang  berasal  dari DPR maupun  yang  berasal dari DPD, memiliki hak yang sama, yakni hak atas persamaan kedudukan, hak  atas  kepastian  hukum  yang  adil,  hak  mendapat  perlakuan  sama  di depan  hukum,    dan  hak  atas  kesempatan  yang  sama  dalam  suatu pemerintahan.
4)  Setiap  anggota MPR  baik  yang  berasal  dari DPR maupun  yang  berasal dari DPD, memiliki hak yang sama untuk dipilih menjadi Ketua MPR.
5)  Frasa “yang berasal dari anggota DPR” dalam Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD menghalangi hak anggota MPR yang berasal dari DPD untuk dipilih menjadi Ketua MPR.
6)  Adanya  frasa  “yang berasal dari  anggota DPR” dalam  Pasal  14 ayat  (1) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD  telah memosisikan  kedudukan  anggota MPR  yang  berasal  dari  DPD  tidak  setara  dengan  anggota  MPR  yang berasal dari DPR.
7)  Adanya  frasa  “yang  berasal dari  anggota DPR” dalam  Pasal  14 ayat  (1) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD memberikan anggota MPR yang berasal dari DPD kedudukan yang tidak sama di dalam hukum dan pemerintahan, ketiadaan  kepastian  hukum  yang  adil,  serta menutup  hak  anggota MPR yang berasal dari DPD atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan, yakni  kesempatan  untuk  dipilih  menjadi  Ketua  MPR.  Akibatnya  hak-hak konstitusional para Pemohon menjadi terlanggar.
8)  Oleh  karena  itu,  Pasal  14  ayat  (1)  UU  MPR,  DPR,  DPD  dan  DPRD sepanjang  frasa  “yang  berasal  dari  anggota  DPR”  bertentangan  dengan UUD  1945,  khususnya  Pasal  2  ayat  (1),  Pasal  27  ayat  (1),  Pasal  28D    ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3).
9)  Agar Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD dapat  terlaksana  secara jelas maka kata “ditetapkan” dalam Pasal 14 ayat (1) tersebut harus dinyatakan konstitusional sepanjang ditafsirkan:
a.  Ketua MPR  dipilih  secara musyawarah  untuk mufakat  dan  ditetapkan dalam sidang paripurna MPR;
b.  Dalam hal musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, Ketua MPR dipilih oleh anggota MPR dan ditetapkan dalam sidang paripurna MPR.
V.  Petitum
Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas dan bukti-bukti terlampir, dengan ini para Pemohon memohon agar Mahkamah memberikan putusan sebagai berikut.
1.  Menerima dan mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya;
2.  Menyatakan bahwa Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD sepanjang menyangkut  frasa  “yang  berasal  dari DPR“  bertentangan  dengan  UUD  1945, khususnya Pasal 2 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3);
3.  Menyatakan bahwa Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD sepanjang menyangkut  frasa  “yang  berasal dari DPR”  tidak mempunyai  kekuatan  hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya;
4.  Menyatakan  bahwa    terkait pemilihan Ketua MPR, Pasal 14  ayat  (1) UU MPR, DPR,DPD  dan  DPRD  sepanjang  menyangkut  kata  “ditetapkan”  adalah konstitusional sepanjang diartikan sebagai berikut:
a)  Ketua MPR  dipilih  secara musyawarah  untuk mufakat  dan  ditetapkan  dalam sidang paripurna MPR;
b) dalam hal musyawarah untuk mufakat  tidak  tercapai, Ketua MPR dipilih oleh anggota MPR dan ditetapkan dalam sidang paripurna MPR.
[2.2]  Menimbang  bahwa  untuk  mendukung  dalil-dalilnya  para  Pemohon megajukan  bukti  surat  yang  diberitanda Bukti P-1  sampai  dengan Bukti P-4,  yang disahkan  dalam  persidangan  tanggal  9  September  2009,  masing-masing  sebagai berikut.
1.  Bukti P-1  :  fotokopi  Undang-Undang  Nomor  27  Tahun  2009  tentang  Majelis Permusyawaratan  Rakyat,  Dewan  Perwakilan  Rakyat,  Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
2.  Bukti P-2  :  fotokopi  Keputusan  Dewan  Perwakilan  Rakyat  Republik  Indonesia Nomor  19/DPR  RI/IV/2008-2009  tentang  Persetujuan  Dewan Perwakilan  Rakyat  Republik  Indonesia    Terhadap  Rancangan Undang-Undang  Republik  Indonesia  Tentang  Majelis Permusyawaratan  Rakyat,  Dewan  Perwakilan  Rakyat,  Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
3.  Bukti P-3  :  fotokopi  Salinan  Keputusan  Presiden  Republik  Indonesia  Nomor 137/M  Tahun  2004  tanggal  23  September  2004  yang  menetapkan nama-nama Anggota Dewan Perwakilan Daerah masa jabatan 2004-2009;
4.  Bukti P-4  :  fotokopi  Keputusan  Komisi  Pemilihan  Umum  Nomor 287/Kpts/KPU/Tahun  2009  tentang  Penetapan  Calon  Terpilih Anggota Dewan  Perwakilan Daerah  dalam  Pemilihan Umum Tahun 2009 tanggal 24 Mei 2009;
[2.3]  Menimbang  bahwa  disamping  mengajukan  bukti-bukti  tertulis,  untuk mendukung dalil-dalilnya,  para Pemohon  juga mengajukan  dua orang ahli masing-masing  bernama Drs. Arbi  Sanit  dan M.  Fajrul Falaakh, S.H., M.A., M.Sc.  yang telah  memberikan  keterangan  di  bawah  sumpah  pada  persidangan  tanggal  9 September 2009  yang  kemudian dilengkapi dengan keterangan  tertulis,  yang pada pokoknya sebagai berikut.
Ahli Drs. Arbi Sanit
·  Bahwa  kehadiran  UU  MPR,  DPR,  DPD  dan  DPRD  telah  mengancam  dan merugikan  perjalanan  transisi  demokrasi  karena  ketentuan  dan  pelaksanaan Pasal  14  ayat  (1)    secara  langsung  atau  tidak  langsung  menampilkan  sistem kekuasaan  oligharkhi  yang  tercipta  sebelum  sistem  kekuasaan  demokrasi, dimana  Presiden  bersama  anggota  DPR memperbesar  keunggulan  kekuasaan Presiden dan anggota DPR atas Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
·  Klausula dalam pasal a quo berpotensi memfasilitasi penyalahgunaan kekuasaan negara  atas  anggota  DPD  karena  konspirasinya  untuk  tidak menumbuhkembangkan prinsip demokrasi cehck and balances secara horizontal di antara Presiden, DPR dan lembaga yudisial.
·  Melalui Pasal 14 ayat  (1) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD pembentuk Undang-Undang  mengambil  keuntungan  dari  empat  institusi  yang  berada  dalam lingkungan lembaga perwakilan rakyat melalui cara-cara sebagai berikut:
Pertama,  melalui  undang-undang  a  quo,  DPD  dibuat  tidak  berdaya memperjuangkan  haknya  untuk  menjadi  dan/atau  memenangkan  posisi  Ketua MPR;
Kedua, pemanfataan  rapat DPR yang merumuskan Pasal 14 ayat  (1) UU MPR, DPR, DPD dan DPRD yang tidak mengikutsertakan anggota DPD dalam institusi rapat-rapat DPR.
Ketiga, melalui ketentuan pasal a quo, anggota DPD tidak hanya harus mematuhi ketentuan Pasal  14 melainkan  lebih  dari  itu  anggota DPD  juga  kehilangan  hak untuk menjadi Ketua MPR.
Keempat,  DPR  sebagai  institusi  yang  bertugas membuat  kebijaksanaan  publik diperalat oleh anggotanya bersama pemerintah untuk melemakan DPD yang juga sebagai  institusi  negara  sehingga  ketentuan  pasal  a  quo  mengejawantahkan perlakuan tidak adil atau tidak fair.
·  Ada  lima perilaku pembentuk Undang-Undang  yang bisa  diidentifikasi  berkaitan dengan  pemberlakuan  Pasal  14  ayat  (1)  undang-undang  a  quo  yang  secara bersama  memperlakukan  anggota  DPD  dan  institusi  DPD  secara  tidak demokratis, yakni:
Pertama, hak membentuk Undang-Undang dijadikan alasan untuk mengabaikan hak  dan  legitimasi  anggota DPD  sebagai wakil  wilayah  atau  daerah  yang  juga dipilih melalui Pemilu;
Kedua,   menafikan wakil wilayah/daerah  dalam  sistem  pemerintahan  Indonesia yang diperankan oleh DPD;
Ketiga, pelecehan negarawan DPD oleh politisi DPR dan Pemerintah;
Keempat,  pemaksaan  parlementarianisme  atas  presidensialisme  yang sesungguhnya bemakna melawan ketentuan UUD 1945.
Kelima, pemaksaan monopoli otoritas legislasi oleh anggota DPR yang berakibat kepada kecenderungan otoritarianisme
Ahli M. Fajrul Falaakh, S.H., M.A., M.Sc.
·  Bahwa meskipun  terdapat  perbedaan  antara DPR  dan DPD  dalam  segi  jumlah anggota, kewenangan, dan sifat representasinya,  tetapi dengan merujuk Pasal 2 ayat  (1)  UUD  1945,  para  anggota  DPR  dan  para  anggota  DPD  sama-sama merupakan  sumber  perekrutan  keanggotaan  MPR,  sehingga  ada  kesetaraan kedudukan dan hak sebagai sesama anggota MPR, termasuk hak  untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan pimpinan MPR;
·  Bahwa  rumusan  Pasal  14  ayat  (1) UU  27/2009  yang menyatakan  Ketua MPR berasal  dari DPR  telah menghilangkan prinsip  kesetaraan  antara  anggota DPR dan  anggota  DPD,  karena  Pasal  a  quo  telah  menunjukkan  perlakuan  yang diskriminatif,  yaitu menyebabkan anggota DPD  tidak dapat dipilih sebagai ketua MPR.
[2.4]  Menimbang  bahwa  Mahkamah  telah  mendengar  keterangan  Dewan Perwakilan  Rakyat  pada  persidangan  tanggal  9  September  2009  yang  pada pokoknya sebagai berikut:
·  Bahwa  menurut  Patrialis  Akbar,  pada  hakikatnya  kehadiran  DPR  dalam persidangan  Mahkamah  adalah  untuk  memberikan  keterangan,  bukan  untuk membela  Undang-Undang  yang  dimohonkan  pengujian,  apalagi  jika  Undang-Undang tersebut nyata-nyata bertentangan denganUUD 1945;
·  Menurut Patrialis Akbar, baik Pembentuk Undang-Undang (Pemerintah dan DPR) maupun  para  Pemohon  ternyata  belum  memahami  secara  tepat  dan  benar  keberadaan MPR  setelah Perubahan UUD  1945,  khususnya  ketentuan Pasal 2 ayat  (1)  UUD  1945.  Pasal  tersebut  menunjukkan  bahwa  Indonesia  tidak menganut sistem bikameral,  karena keanggotaannya berasal dari anggota DPR dan  anggota  DPD  secara  perorangan,  bukan  terdiri  atas  lembaga  DPR  dan lembaga DPD. Oleh karena itu, tidaklah tepat pemahaman bahwa pimpinan MPR harus berasal dari DPR atau DPD, melainkan harus dipilih oleh seluruh anggota MPR  dalam  sidang  paripurna MPR,  bukan  sistem  kuota  dari  institusi DPR  dan institusi  DPD.  Seluruh  ketentuan  dalam  UUD  1945  secara  jelas  menunjukkan bahwa  dalam  kapasitas  sebagai anggota MPR,  baik  anggota  yang  berasal dari DPR maupun yang berasal dari DPD  telah melebur menjadi satu, yakni anggota MPR, tidak lagi menjadi persoalan keanggotaannya berasal dari mana;
·  Bahwa  Patrialis  Akbar  juga  menyatakan  Pasal  14  UU  27/2009  tersebut bertentangan dengan UUD 1945;
·  Bahwa Mufid A. Busyairi menyatakan ketentuan yang tercantum dalam Pasal 14 UU 27/2009 merupakan hasil kompromi politik dan cukup bijaksana adanya kuota bagi  DPR  dan  DPD,  yakni  masing-masing  mendapat  jatah  dua  jabatan  wakil ketua  MPR,  sebab  kalau  dipilih  oleh  MPR  ada  kemungkinan  semuanya  akan berasal dari DPR, mengingat bahwa  jumlah anggota DPR di MPR  tiga  kali  lipat jumlah anggota MPR yang berasal dari DPD;
[2.5]  Menimbang  bahwa  Mahkamah  telah  pula  mendengar  keterangan Pemerintah  pada  persidangan  tanggal  9  September  2009  yang  pada  pokoknya sebagai berikut.
·  Bahwa ketentuan Pasal 14 ayat (1) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD justru telah memberikan  keadilan  yaitu  sebagai  wujud  perimbangan  keterwakilan  karena jumlah  anggota DPR  sebanyak  560  anggota  sedangkan  jumlah  anggota DPD tidak lebih dari 1/3 (satu pertiga) jumlah anggota DPR atau berjumlah 132 orang;
·  Bahwa  dengan memperhatikan  komposisi  jumlah  keterwakilan  antara  anggota DPR  dan  DPD  tersebut  adalah  wajar  dan  proporsional  jika  unsur  pimpinan sebagai Ketua MPR berasal dari anggota DPR sedangkan wakil ketua diberikan secara  berimbang  antara  DPR  dan  DPD,  2  (dua)  orang  berasal  dari  anggota DPR dan 2 (dua) orang berasal dari anggota DPD;
[2.6]  Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini, segala sesuatu yang  terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan dan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam putusan ini;
3. PERTIMBANGAN HUKUM
[3.1]  Menimbang  bahwa maksud  dan  tujuan  permohonan  para Pemohon  adalah mengenai pengujian materiil  terhadap Pasal 14 ayat  (1) Undang-Undang Nomor 27 Tahun  2009  tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan  Perwakilan  Daerah,  dan  Dewan  Perwakilan  Rakyat  Daerah  (Lembaran Negara Republik  Indonesia Tahun 2009 Nomor  123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043, selanjutnya disebut UU 27/2009) terhadap Undang-Undang  Dasar  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  1945  (selanjutnya  disebut  UUD 1945);
[3.2]  Menimbang  bahwa  sebelum  mempertimbangkan  pokok  permohonan, Mahkamah  Konstitusi  (selanjutnya  disebut  Mahkamah)  akan  mempertimbangkan terlebih dahulu hal-hal berikut:
a.  Kewenangan  Mahkamah  untuk  memeriksa,  mengadili,  dan  memutus permohonan a quo;
b.  Kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon;
Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
Kewenangan Mahkamah
[3.3]  Menimbang  bahwa  berdasarkan  Pasal  24C  ayat  (1)  UUD  1945  yang disebutkan  lagi  dalam  Pasal  10  ayat  (1)  Undang-Undang  Nomor  24  Tahun  2003 tentang  Mahkamah  Konstitusi  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2003 Nomor  98,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  4316, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004  tentang Kekuasaan Kehakiman  (Lembaran Negara Republik  Indonesia Tahun  2004  Nomor  8,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor 4358),  salah  satu  kewenangan  konstitusional Mahkamah  adalah menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar;
[3.4]  Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah mengenai pengujian Undang-Undang  in  casu  UU  27/2009  terhadap  UUD  1945,  sehingga  Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan a quo; Kedudukan hukum (Legal standing) para Pemohon
[3.5]  Menimbang  bahwa  berdasarkan  Pasal  51  ayat  (1)  UU  MK,  yang  dapat bertindak sebagai pemohon dalam pengujian suatu Undang-Undang  terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, yaitu:
a.  perorangan,  termasuk  kelompok  orang  yang  mempunyai  kepentingan  sama, warga negara Indonesia;
b.  kesatuan  masyarakat  hukum  adat  sepanjang  masih  hidup  dan  sesuai  dengan perkembangan  masyarakat  dan  prinsip  Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
c.  badan hukum publik atau privat; atau
d.  lembaga negara;
[3.6]  Menimbang pula bahwa  Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005 bertanggal  31  Mei  2005  dan  Putusan  Nomor  11/PUU-V/2007  bertanggal  20 September  2007  serta  putusan-putusan  selanjutnya  telah  berpendirian  bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu:
a.  adanya  hak  dan/atau  kewenangan  konstitusional  pemohon  yang  diberikan  oleh UUD 1945;
b.  hak  dan/atau  kewenangan  konstitusional  tersebut  oleh  pemohon  dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
c.  kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus)  dan  aktual  atau  setidak-tidaknya  potensial  yang  menurut  penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
d.  adanya hubungan sebab akibat  (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian;
e.  adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan  tidak akan atau tidak lagi terjadi;
[3.7]  Menimbang bahwa berdasarkan uraian sebagaimana tersebut pada paragraf [3.5] dan  [3.6] di atas, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan mengenai kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon dalam permohonan a quo sebagai berikut:
[3.7.1]  Bahwa  para  Pemohon  mendalilkan  sebagai  perorangan  warga  negara Indonesia yang sedang menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah  (DPD) periode tahun  2004-2009  (Bukti  P-3)  dan  juga  anggota  DPD  Terpilih  periode  2009-2014 (Bukti P-4), sehingga kedudukannya adalah sebagai pemohon perseorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama).
[3.7.2]  Bahwa  sebagai  perorangan  warga  negara  Indonesia,  para  Pemohon mempunyai  hak  konstitusional  yang  diberikan  oleh  UUD  1945,  yaitu  hak  atas kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan [Pasal 27 ayat (1)], hak atas pengakuan,  jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang  sama  di  hadapan  hukum  [Pasal  28D  ayat  (1)],  dan  hak  memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan [Pasal 28D ayat (3)] UUD 1945;
[3.7.3]  Bahwa para Pemohon menganggap hak konstitusionalnya tersebut dirugikan oleh berlakunya Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 yang berbunyi, “Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang  terdiri  atas 2  (dua)  orang wakil  ketua  berasal  dari anggota DPR  dan 2 (dua)  orang wakil  ketua  berasal  dari  anggota DPD,  yang ditetapkan  dalam  sidang paripurna  MPR”,  karena  ketentuan  tersebut,  sepanjang  yang  menyangkut  frasa “yang  berasal  dari  anggota DPR”  telah  menutup  kesempatan  bagi  para  Pemohon sebagai anggota MPR  yang berasal dari anggota DPD  untuk menjadi Ketua MPR;
[3.7.4]  Bahwa  kerugian  hak  konstitusional Pemohon  tersebut  bersifat  spesifik  dan potensial akan  terjadi dengan berlakunya ketentuan Pasal 14 ayat  (1) UU 27/2009, sehingga  juga  mempunyai  hubungan  sebab  akibat  dengan  UU  27/2009  yang dimohonkan  pengujian  dan  dipastikan  tidak  akan  terjadi  apabila  permohonan  para Pemohon dikabulkan;
[3.7.5]  Bahwa  dengan  demikian,  menurut  Mahkamah  para  Pemohon  prima  facie mempunyai  kedudukan  hukum  (legal  standing)  untuk  mengajukan  permohonan a quo;
[3.8]  Menimbang  bahwa  karena  Mahkamah  berwenang  untuk  memeriksa, mengadili,  dan  memutus  permohonan  a  quo,  serta  para  Pemohon  memiliki kedudukan  hukum  (legal  standing)  untuk  mengajukan  permohonan,  maka selanjutnya  Mahkamah  akan  mempertimbangkan  pokok  permohonan  para Pemohon;
Pokok Permohonan
[3.9]  Menimbang  bahwa  pokok  permohonan  para  Pemohon  adalah  mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 yang berbunyi, “Pimpinan MPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua yang berasal dari anggota DPR dan 4 (empat) orang wakil ketua yang  terdiri atas 2  (dua) orang wakil  ketua  berasal  dari  anggota DPR  dan  2  (dua)  orang  wakil  ketua  berasal  dari  anggota  DPD,  yang  ditetapkan dalam  sidang  paripurna  MPR”,  sepanjang  menyangkut  frasa  “yang  berasal  dari anggota DPR” yang menurut para Pemohon bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 27 ayat  (1), Pasal 28D ayat  (1), dan Pasal 28D ayat  (3) UUD 1945,   dengan alasan-alasan sebagai berikut:
a.  Pasal  14  ayat  (1)  UU  27/2009  dalam  hal  Ketua  MPR,  menunjukkan ketidaksetaraan  kedudukan  anggota  MPR  yang  berasal  dari  DPD  yang  lebih rendah    jika  dibandingkan  dengan  yang  berasal  dari  anggota  DPR,  yakni  hak untuk dipilih menjadi Ketua MPR hanya dimiliki oleh anggota DPR;
b.  Adanya  frasa  “yang  berasal  dari  anggota  DPR”  dalam  Pasal  14  ayat  (1)  UU 27/2009 tersebut bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah …”, karena kata “dan” dalam Pasal a quo menunjukkan kesetaraan antara anggota MPR yang berasal dari DPR dan yang berasal  dari  DPD,  sedangkan  Pasal  14  ayat  (1)  justru  menimbulkan ketidaksetaraan;
c.  Adanya  frasa  “yang  berasal  dari  anggota  DPR”  dalam  Pasal  14  ayat  (1)  UU 27/2009  bertentangan  dengan  Pasal  27  ayat  (1)  UUD  1945,  karena  tidak menjamin bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan  pemerintahan,  yakni  menyebabkan  anggota  MPR  yang  berasal  dari  DPD tidak  dapat  dipilih  untuk  menjadi  Ketua  MPR.  Dengan  demikian,  juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945;
d.   Adanya  frasa  “yang  berasal  dari  anggota  DPR”  dalam  Pasal  14  ayat  (1)  UU 27/2009  juga bertentangan dengan Pasal 28D ayat  (1) UUD 1945, karena  tidak memberikan  kepastian  hukum  yang  adil  dan  perlakuan  yang  sama  di  hadapan hukum,  yakni  menyebabkan  ada  sebagian  anggota  MPR  yang  dapat  dipilih menjadi Ketua MPR dan ada sebagian lagi yang tidak dapat dipilih menjadi Ketua MPR;
e.  Bahwa  berdasarkan  alasan-alasan  sebagaimana  diuraikan  di  atas,  para Pemohon  memohon  dalam  petitumnya  agar  Pasal  14  ayat  (1)  UU  27/2009 sepanjang  menyangkut  frasa  “yang  berasal  dari  anggota  DPR”  dinyatakan bertentangan  dengan  UUD  1945  dan  dinyatakan  tidak  mempunyai  kekuatan hukum  mengikat  dengan  segala  akibat  hukumnya,  serta  memohon  agar Mahkamah  menyatakan  sepanjang  menyangkut  kata  “ditetapkan”  adalah konstitusional sepanjang diartikan  “Ketua MPR dipilih secara musyawarah untuk mufakat  dan  dalam  hal musyawarah  untuk mufakat  tidak  tercapai,  Ketua MPR dipilih oleh anggota MPR dan ditetapkan dalam sidang paripurna MPR”;
[3.10] Menimbang  bahwa  untuk  memperkuat  dalil-dalilnya,  para  Pemohon mengajukan  alat  bukti  tulis  berupa  Bukti  P-1  sampai  dengan  Bukti  P-4  dan menghadirkan dua orang ahli yang memberikan keterangan di bawah sumpah yang keterangan selengkapnya telah dimuat dalam uraian mengenai duduk perkara, pada pokoknya adalah sebagai berikut:
[3.10.1] Ahli Drs. Arbi Sanit:
·  Ahli  menilai  bahwa  ada  tiga  masalah  dalam  UU  27/2009  yang  menyebabkan demokrasi  di  Indonesia  bersifat  elitis  atau  demokrasi  minimalis  yang  tidak menyentuh kesejahteran rakyat, yaitu masalah oligarki, masalah abuse of power, dan masalah representasi;
·  Watak  oligarkis  UU  27/2009  ditunjukkan  oleh:  a)  bahwa  otoritas  membentuk Undang-Undang  a  quo  yang  berada  di  tangan  DPR  tidak  adil,  hanya mementingkan diri DPR dengan menyingkirkan kesempatan anggota DPD untuk menjabat Ketua MPR; b) UU 27/2009 hanya memberi kesempatan kepada DPD untuk  ikut  rapat-rapat  namun  tidak  ikut  memutuskan;  c)  UU  27/2009  sebagai sebuah  regulasi  hanya  untuk  kepentingan  tertentu  dari  DPR  dengan mengabaikan kepentingan pihak lainnya (yakni DPD) secara fair atau adil;
·  Sebagai  akibat  watak  oligarki,  maka  UU  27/2009  memudahkan  terjadi penyalahgunaan  kekuasaan  (abuse of power), yakni,
pertama, dalam  kaitannya dengan  representasi  DPR  sebagai  wakil  rakyat  yang  menganggap  lebih  tinggi dari  pada DPD  sebagai wakil  daerah;
kedua,  jika  dianalogikan  bahwa DPR  itu mewakili manusia dan DPD mewakili alam, seharusnya manusia dan alam saling
menghormati  dan  menjaga,  namun  dalam  hal  ini  manusia  malahan  merusak alam;
ketiga,  ada  monopoli  kekuasaan,  yakni  DPR  merasa  lebih  kuat  dan berkuasa, antara  lain, dengan mengandalkan  jumlahnya yang  lebih banyak  (tiga kali lipat jumlah anggota DPD);
·  Dari  aspek  representasi, DPR  dan DPD seharusnya  equal,  karena  sama-sama sebagai  representasi  rakyat  yang  dipilih  melalui  Pemilu  dengan  sistem  suara terbanyak,  namun  kenyataannya  DPR  dianggap  lebih  tinggi  dari  pada  DPD, seolah-olah  kita  membangun  suatu  sistem  parlementer,  padahal  sistem  kita adalah presidensial;
·  Bahwa secara normatif memang benar apabila anggota DPR dan anggota DPD mereka  sudah melebur menjadi satu kesatuan dalam  keanggotaan   MPR,  tidak ada  bedanya  lagi,  tidak  bisa  dilihat  lagi  ciri-cirinya. Akan  tetapi,  secara  realitas politik  pada  dasarnya  masih  ada  identitas  yang  tak  mungkin  ditiadakan,  yakni identitas sebagai anggota DPR dan identitas sebagai anggota DPD. Oleh karena itu, pembagian  jatah dalam  jabatan Wakil Ketua MPR masih dapat diperhatikan, sebab  kalau  semuanya melebur  menjadi  satu  dengan menghilangkan  identitas masing-masing  sesungguhnya  merupakan  pemikiran  integralistik  yang  tidak sesuai dengan demokrasi;
[3.10.2] Ahli Fajrul Falaakh, S.H., M.A., M.Sc.:
·  Bahwa meskipun  terdapat  perbedaan  antara DPR  dan DPD  dalam  segi  jumlah anggota, kewenangan, dan sifat representasinya,  tetapi dengan merujuk Pasal 2 ayat  (1)  UUD  1945,  para  anggota  DPR  dan  para  anggota  DPD  sama-sama merupakan  sumber  perekrutan  keanggotaan  MPR,  sehingga  ada  kesetaraan kedudukan dan hak sebagai sesama anggota MPR, termasuk hak  untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan pimpinan MPR;
·  Bahwa  rumusan Pasal  14  ayat  (1) UU  27/2009  yang menyatakan, Ketua MPR berasal  dari DPR  telah menghilangkan prinsip  kesetaraan  antara  anggota DPR dan  anggota  DPD,  karena  Pasal  a  quo  telah  menunjukkan  perlakuan  yangdiskriminatif,  yaitu menyebabkan anggota DPD  tidak dapat dipilih sebagai ketua MPR.
[3.11]  Menimbang  bahwa  Pemerintah  telah  memberikan  keterangan  yang selengkapnya dimuat dalam uraian mengenai Duduk Perkara, pada pokoknya adalah sebagai berikut:
·  Bahwa  Pemerintah  menyerahkan  sepenuhnya  mengenai  kedudukan  hukum (legal standing) para Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo;
·  Bahwa Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 tidak bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) UUD 1945, karena secara  proporsional  sudah  sesuai  dengan  jumlah  anggota  DPR  yang  tiga  kali lipat  dari  jumlah  anggota DPD,  sehingga adalah wajar  jika  Ketua MPR  berasal dari anggota DPR;
·  Bahwa    Pasal  14  ayat  (1)  UU  27/2009  sudah  cukup  adil,  karena  baik  DPR maupun DPD masing-masing mendapat jatah dua orang Wakil Ketua MPR;
[3.12]  Menimbang  bahwa  Dewan  Perwakilan  Rakyat  (DPR)  melalui  kuasa hukumnya  Patrialis  Akbar  dan  Mufid  A.  Busyairi  memberikan  keterangan  yang selengkapnya  telah dimuat dalam uraian mengenai Duduk Perkara, pada pokoknya adalah sebagai berikut:
·  Bahwa  menurut  Patrialis  Akbar,  pada  hakikatnya  kehadiran  DPR  dalam persidangan  Mahkamah  adalah  untuk  memberikan  keterangan,  bukan  untuk membela  Undang-Undang  yang  dimohonkan  pengujian,  apalagi  jika  Undang-Undang tersebut nyata-nyata bertentangan dengan UUD 1945;
·  Bahwa  Pembentuk  Undang-Undang  (Pemerintah  dan  DPR)  maupun  para Pemohon  ternyata belum memahami  secara  tepat  dan benar  keberadaan MPR setelah Perubahan UUD 1945, khususnya ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945. Pasal  tersebut menunjukkan bahwa  Indonesia  tidak menganut sistem bikameral, karena  keanggotaannya  berasal  dari  anggota  DPR  dan  anggota  DPD  secara perorangan, bukan terdiri atas lembaga DPR dan lembaga DPD. Oleh karena itu, tidaklah  tepat  pemahaman  bahwa  pimpinan MPR  harus  berasal  dari DPR  atau DPD, melainkan harus dipilih oleh seluruh anggota MPR dalam sidang paripurna MPR, bukan sistem kuota dari institusi DPR dan institusi DPD. Seluruh ketentuan dalam  UUD  1945  secara  jelas  menunjukkan  bahwa  dalam  kapasitas  sebagai anggota MPR,  baik  anggota  yang  berasal dari DPR maupun  yang  berasal dari DPD  telah  melebur  menjadi  satu,  yakni  anggota  MPR,  tidak  lagi  menjadi persoalan keanggotaannya berasal dari mana;
·  Bahwa  Patrialis  Akbar  juga  menyatakan  Pasal  14  UU  27/2009  tersebut bertentangan dengan UUD 1945;
·  Bahwa Mufid A. Busyairi menyatakan, ketentuan yang tercantum dalam Pasal 14 UU 27/2009 merupakan hasil kompromi politik dan cukup bijaksana adanya kuota bagi  DPR  dan  DPD,  yakni  masing-masing  mendapat  jatah  dua  jabatan  wakil Ketua  MPR,  sebab  kalau  dipilih  oleh  MPR  ada  kemungkinan  semuanya  akan berasal dari DPR, mengingat bahwa  jumlah anggota DPR di MPR  tiga  kali  lipat jumlah anggota MPR yang berasal dari DPD;
[3.13] Menimbang  bahwa  para  Pemohon  telah  menyampaikan  kesimpulan  yang pada pokoknya menyatakan tetap pada pendiriannya; Pendapat Mahkamah
[3.14] Menimbang  bahwa  berdasarkan  dalil-dalil para Pemohon beserta  alat  bukti tulis  dan  keterangan  ahli  yang diajukan,  keterangan Pemerintah,  keterangan DPR, serta  kesimpulan  para  Pemohon,  Mahkamah  sebelum  menyampaikan  pendapat tentang  pokok  permohonan  para  Pemohon  terlebih  dahulu  menyampaikan  hal-hal berikut:
a.  Bahwa  Perubahan  UUD  1945  (tahun  1999  sampai  dengan  tahun  2002)  telah mengubah pula desain konstitusional mengenai kelembagaan MPR yang meliputi susunan  keanggotaannya,  cara  rekruitmen  anggotanya,  dan  kewenangannya, yaitu:
1)  Susunan keanggotaan MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang kesemuanya  dipilih  melalui  pemilihan  umum  [Pasal  2  ayat  (1)  UUD  1945], sedangkan  sebelum  Perubahan  UUD  1945,  keanggotaan  MPR  terdiri  atas anggota-anggota  DPR  ditambah  dengan  utusan-utusan  dari  daerah-daerah dan  golongan-golongan,  serta  tidak  ditentukan  apakah  direkrut  melalui pemilihan umum atau tidak;
2)  Kewenangan MPR meliputi  enam  hal,  yaitu:  i)  mengubah  dan menetapkan UUD [Pasal 3 ayat (1)]; ii) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden [Pasal 3 ayat (2)];  iii) memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya  menurut  UUD  [Pasal  3  ayat  (3)];  iv)  melantik  Wakil  Presiden menjadi  Presiden  apabila  Presiden  mangkat,  berhenti,  diberhentikan,  atau tidak  dapat melakukan  kewajibannya  dalam masa  jabatannya  [Pasal  8  ayat (1)  juncto Pasal 3 ayat  (2)]; v) memilih Wakil Presiden dari dua orang calon yang  diusulkan  oleh  Presiden  apabila  terjadi  kekosongan  jabatan  Wakil Presiden dalam masa jabatannya [Pasal 8 ayat (2)]; dan vi) memilih Presiden dan Wakil Presiden apabila keduanya mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak  dapat melakukan  kewajibannya  dalam masa  jabatannya  [Pasal  8  ayat (3)].  Sebelum  Perubahan  UUD  1945,  kewenangan  MPR  adalah:  i) menetapkan UUD dan garis-garis besar haluan negara  (Pasal 3);  ii) memilih Presiden dan Wakil Presiden [Pasal 6 ayat (2)]; dan iii) mengubah UUD [Pasal 37];
b.  Bahwa  baik  ditinjau  dari  susunan  keanggotaan  MPR  sebagaimana  ketentuan Pasal  2  ayat  (1)  UUD  1945,  maupun  dari  kewenangan  MPR  yang  tercantum dalam Pasal 3 dan Pasal 8 UUD 1945 menunjukkan bahwa anggota MPR, baik yang berasal dari anggota DPR maupun  yang berasal dari anggota DPD, pada dasarnya  sudah  merupakan  satu  kesatuan  sebagai  sesama  anggota  MPR, sehingga tidak dibedakan lagi asal usul dari mana anggota MPR tersebut berasal, apakah  dari  DPR  ataukah  dari  DPD.  Pendapat  tersebut  sejalan  dengan keterangan  wakil  DPR  dalam  Sidang  Pleno  Mahkamah  tanggal  9  September 2009;
c.  Bahwa sebagai konsekuensinya, sejalan dengan pendapat para Pemohon, pada hakikatnya,  kedudukan,  hak,  dan  kewajiban  anggota MPR, dari mana  pun asal usul  keanggotaannya  adalah  setara  atau  sederajat  (equal),  termasuk  haknya untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan pimpinan MPR. Kesetaraan demikian justru  terdapat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003  tentang Susunan dan  Kedudukan  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat,  Dewan  Perwakilan  Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  (selanjutnya disebut UU 22/2003) yang dalam Pasal 7 ayat  (1) menyatakan,  “Pimpinan MPR terdiri  atas  seorang  ketua dan  tiga  orang wakil ketua yang  dipilih  dari  dan  oleh anggota MPR dalam Sidang Paripurna MPR”;
d.  Bahwa desain konstitusional kelembagaan MPR berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUD 1945 juga menunjukkan bukan lembaga perwakilan dengan sistem bikameral, karena baik DPR maupun DPD bukanlah kamar dari MPR, lain halnya jika  rumusannya  adalah  “Majelis  Permusyawaratan  Rakyat  terdiri  atas  Dewan Perwakilan  Rakyat  dan  Dewan  Perwakilan  Daerah”.  Bandingkan  misalnya dengan  Konstitusi  Amerika  yang  menganut  sistem  bikameral  yang  tercermin dalam Congress sebagaimana tercantum dalam Article I Section 1, “All legislative Powers herein granted shall be vested in a Congress of the United Stated, which shall consist of a Senate and House of Representatives”.
e.  Bahwa MPR sebagai  lembaga negara yang merupakan organ konstitusi dengan enam kewenangannya, sudah sewajarnya apabila pimpinan MPR dipilih dari dan oleh  anggota  MPR  sendiri  dalam  forum  persidangan  MPR,  sebagaimana ketentuan UU 22/2003, bukan dipilih dan/atau ditentukan oleh sidang atau forum lain  di  luar  MPR,  termasuk  oleh  lembaga  negara  dari  mana  anggota  MPR masing-masing  berasal,  sebagaimana  ketentuan  UU  27/2009.  Pemilihan pimpinan  MPR  bukan  oleh  MPR  pada  dasarnya  telah  mendegradasi  lembaga MPR;
[3.15] Menimbang  bahwa  berdasarkan  pertimbangan  sebagaimana  tersebut pada paragraph [3.14] di atas, selanjutnya Mahkamah berpendapat sebagai berikut:
a.  Bahwa  baik  para  Pemohon  maupun  pembentuk  Undang-Undang  tidak  tepat dalam memahami hakikat lembaga MPR yang dimaksud oleh UUD 1945 setelah Perubahan,  sehingga  pola  pikirnya  menggunakan  bikameralisme  yang menganggap  seolah-olah  DPR  dan  DPD  sebagai  kamar  MPR.  Hal  tersebut tercermin dalam rumusan Pasal 14 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU 27/2009;
b.  Bahwa para Pemohon bersikap mendua  (ambivalen) dan hanya berpikir untung rugi  dalam menerapkan  prinsip  kesetaraan  (ekualitas)  anggota MPR baik  yang berasal  dari  DPR  maupun  yang  berasal  dari  DPD.  Di  satu  pihak  tidak  setuju apabila  Ketua MPR  secara  serta merta  berasal  dari DPR,  namun  di  lain  pihak menghendaki  kuota  kelembagaan  untuk  komposisi  wakil  ketua  MPR.  Dengan kata  lain,  para  Pemohon  menganggap  sesuatu  itu  inkonstitusional  apabila merugikan,  namun  di  sisi  lain  konstitusional  apabila menguntungkan, meskipun pada hakikatnya juga tidak konstitusional;
c.  Bahwa  dalil  para  Pemohon  yang  menyatakan  Pasal  14  ayat  (1)  UU  27/2009 sepanjang  menyangkut  frasa  “yang  berasal  dari  anggota  DPR”  bertentangan dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945  adalah  beralasan  hukum  karena  telah  mendiskriminasi  sesama  anggota MPR,  yakni menutup  peluang  anggota  DPD  untuk  memilih  dan  dipilih  sebagai Ketua MPR;
d.  Bahwa  sejatinya,  menurut  Mahkamah,  bukan  hanya  Pasal  14  ayat  (1)  UU 27/2009  sepanjang  menyangkut  frasa  “yang  berasal  dari  anggota  DPR”  yang bertentangan dengan UUD 1945, melainkan juga:
1)  frasa  “yang  terdiri  atas  2  (dua) orang wakil  ketua berasal dari  anggota DPR dan  2  (dua)  orang  wakil  ketua  berasal  dari  anggota  DPD”,  karena mencerminkan pola pikir bikameralisme dan pendekatan sektoral institusional yang  tidak  sesuai  dengan  norma  konstitusi  yang  terkandung  dalam Pasal  2 ayat (1) UUD 1945; serta
2)  Pasal  14  ayat  (2),  ayat  (3),  ayat  (4),  dan  ayat  (5)  UU  27/2009  merupakan penjabaran  dan  pelaksanaan  ketentuan  Pasal  14  ayat  (1)  UU  27/2009, sehingga apabila Pasal 14 ayat (1) dinyatakan  inkonstitusional, maka mutatis mutandis Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan sendirinya juga  inkonstitusional,  karena  norma-norma  yang  terkandung  dalam  pasal-pasal a quo telah mendistorsi pengertian UUD 1945 mengenai lembaga MPR, yakni menjadikan pemilihan pimpinan MPR bukan oleh dan dari anggota MPR dalam forum MPR, melainkan dipilih oleh dan dari anggota DPR atau anggota DPD dalam forum DPR atau forum DPD;
e.  Bahwa  meskipun  yang  dimohonkan  pengujian  hanya  Pasal  14  ayat  (1) sepanjang  yang  menyangkut  frasa  “yang  berasal  dari  anggota  DPR”,  namun Mahkamah  sesuai  dengan  kewenangan  konstitusionalnya,  tidak  akan membiarkan  adanya  norma  dalam  Undang-Undang,  in  casu  yang  terkandung dalam Pasal 14 ayat  (1) UU 27/2009 sepanjang  frasa  “yang  terdiri atas 2 (dua) orang  wakil  ketua  berasal  dari  anggota  DPR  dan  2  (dua)  orang  wakil  ketua berasal dari anggota DPD”, serta
·  ayat (2) yang berbunyi, “Pimpinan MPR yang berasal dari DPR sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (1)  dipilih  secara  musyawarah  untuk  mufakat  dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR;”
·  ayat (3) yang berbunyi, “Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak tercapai, pimpinan MPR yang berasal dari DPR dipilih  dari  dan  oleh  anggota  DPR  dan  ditetapkan  dalam  rapat  paripurna DPR;”
·  ayat (4) yang berbunyi, “Pimpinan MPR yang berasal dari DPD sebagaimana dimaksud  pada  ayat  (1)  dipilih  secara  musyawarah  untuk  mufakat  dan ditetapkan dalam sidang paripurna DPD;”
·  ayat (5) yang berbunyi, “Dalam hal musyawarah untuk mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak tercapai, pimpinan MPR yang berasal dari DPD dipilih dari dan oleh anggota DPD serta ditetapkan dalam sidang paripurna DPD;” yang  secara  expressis  verbis  melanggar  norma  UUD  1945.  Lagi  pula,  apabila Pasal  14  ayat  (1)  UU  27/2009  baik  sebagian  atau  seluruhnya  dinyatakan bertentangan  dengan  UUD  1945  dan  tidak  mempunyai  kekuatan  hukum mengikat, maka demi hukum akan melumpuhkan norma hukum yang terkandung dalam Pasal 14 ayat  (2), ayat  (3), ayat  (4), dan ayat  (5) UU 27/2009, sehingga keberadaannya tidak mempunyai makna apapun;
f.  Bahwa Mahkamah  juga memahami apabila pimpinan MPR  dipilih  dari  dan oleh anggota MPR dalam forum sidang paripurna MPR tanpa adanya ketentuan yang menyatakan  “dengan  memperhatikan  unsur  anggota  DPR  dan  unsur  anggota DPD”, akan menyebabkan kemungkinan pimpinan MPR semuanya akan diisi oleh anggota MPR yang berasal dari anggota DPR, mengingat bahwa jumlah anggota MPR yang berasal dari anggota DPR  tiga kali  lebih banyak dari  jumlah anggota MPR yang berasal dari anggota DPD. Oleh karena  itu, agar MPR  tetap aspiratif mencerminkan  representasi  politik  (rakyat)  dan  representasi  teritorial  (daerah), maka MPR melalui Peraturan Tata Tertib-nya dapat membuat konsensus politik menampung  aspirasi  yang  merefleksikan  keterwakilan  anggota  MPR  yang mencakup  representasi  politik  (DPR)  dan  representasi  daerah  (DPD),  namun tidak perlu dinormakan dalam UU 27/2009;
g.  Bahwa  sebagai  “negative  legislator”, Mahkamah  sedapat mungkin menghindari membuat  rumusan  norma  baru  kecuali  dalam  kondisi  ketatanegaraan  tertentu yang bersifat hoogdringend  (urgen dan mendesak). Namun dalam kondisi biasa, Mahkamah  hanya  dapat  meniadakan  beberapa  frasa  dan/atau  kata  dari  suatu norma  yang  dirumuskan  dalam  Undang-Undang  dan  memberikan  tafsir  yang tepat agar norma Undang-Undang  tersebut konstitusional. Oleh karena  itu, agar norma  hukum  yang  terkandung  dalam  Pasal  14  ayat  (1)  UU  27/2009 konstitusional, beberapa frasa dan/atau kata dalam Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 ditiadakan  dan  diikuti  dengan  memberikan  tafsir  yang  tepat  mengenai  kata “ditetapkan” dalam rumusan Pasal 14 ayat (1) UU 27/2009 sebagai berikut:
·  meniadakan  frasa, “yang berasal dari anggota DPR”; dan “yang  terdiri atas 2 (dua)  orang wakil  ketua  berasal  dari  anggota DPR  dan  2  (dua) orang wakil ketua  berasal  dari  anggota  DPD”,  sehingga  rumusannya  berubah  menjadi: “Pimpinan MPR  terdiri  atas  1  (satu)  orang ketua dan  4  (empat) orang wakil ketua  yang ditetapkan dalam sidang paripurna MPR”;
·  bahwa  kata  “ditetapkan”  dalam  Pasal  14  ayat  (1)  harus  ditafsirkan mengandung makna di dalamnya “dipilih”;
h.  Bahwa  dalam  perkara  konstitusi  yang  berkaitan  dengan  pengujian konstitusionalitas  suatu  Undang-Undang  sesungguhnya  tidak  mengenal  istilah putusan  “ultra  petita”  (putusan  melebihi  yang  diminta  oleh  pemohon),  karena Undang-Undang  merupakan  satu  kesatuan  sistem  yang  apabila  sebagian pasalnya  diuji  pasti  akan  berpengaruh  terhadap  pasal-pasal  lain  yang mungkin tidak  dimohonkan  pengujian.  Oleh  karena  itu,  pernyataan  tidak  mempunyai kekuatan hukum mengikat norma hukum  yang  terkandung dalam Pasal 14 ayat (1)  sepanjang  frasa,  “yang  terdiri  atas  2  (dua)  orang  wakil  ketua  berasal  dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD” dan Pasal 14  ayat  (2),  ayat  (3),  ayat  (4),  dan  ayat  (5)  UU  27/2009,  meskipun  tidak dimohonkan pengujian oleh para Pemohon, merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindarkan,  karena  selain  bertentangan  dengan  UUD  1945  juga  sebagai konsekuensi  logis adanya peniadaan sebagian  frasa dan penafsiran Mahkamah atas beberapa kata dan/atau  frasa dalam  rumusan norma Pasal 14 ayat  (1) UU 27/2009;
4. KONKLUSI
Berdasarkan  pertimbangan  atas  fakta  dan  hukum  sebagaimana  diuraikan  di atas, Mahkamah berkesimpulan:
[4.1]  Mahkamah  berwenang  untuk  memeriksa,  mengadili,  dan  memutus permohonan a quo;
[4.2]  Para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
[4.3]  Dalil  para  Pemohon  mengenai  konstitusionalitas  Pasal  14  ayat  (1)  UU 27/2009  sepanjang  menyangkut  frasa,  “yang  berasal  dari  anggota  DPR”  terbukti  beralasan  menurut  hukum,  sedangkan  dalil  dan  petitum  Nomor  4 tentang  tafsir  kata  “ditetapkan”  yang  tercantum  dalam Pasal  14  ayat  (1) UU 27/2009  yang  hanya  diperuntukkan  bagi  pemilihan  ketua  MPR  dan  tidak berlaku  bagi  pemilihan  wakil  ketua  MPR  menimbulkan  dualisme  dalam prosedur  pemilihan  pimpinan  MPR,  sehingga  harus  dinyatakan  tidak beralasan hukum;
[4.4]  Frasa  “yang  terdiri atas 2  (dua) orang wakil  ketua berasal dari anggota DPR dan  2  (dua)  orang  wakil  ketua  berasal  dari  anggota  DPD”  yang  tercantum dalam rumusan Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU 27/2009, bertentangan  dengan  UUD  1945  dan  tidak  mempunyai  kekuatan  hukum mengikat;
[4.5]  Kata  “ditetapkan”  dalam  Pasal  14  ayat  (1)  UU  27/2009  harus  dimaknai “dipilih”,  sehingga  pimpinan  MPR,  baik  pemilihan  ketua  MPR  maupun pemilihan wakil  ketua MPR, harus dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam sidang paripurna MPR.
5. AMAR PUTUSAN
Dengan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara  Republik  Indonesia Tahun  1945  dan  mengingat  Pasal  56  ayat  (2)  Undang-Undang  Nomor  24  Tahun 2003  tentang  Mahkamah  Konstitusi  (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun 2003 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316),
Mengadili,
·  Menyatakan permohonan para Pemohon dikabulkan;
·  Menyatakan Pasal 14 ayat (1) sepanjang menyangkut  frasa  “yang berasal dari anggota DPR” dan frasa “yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2  (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPD”, serta Pasal 14  ayat  (2), ayat  (3),  ayat  (4),  dan  ayat  (5) Undang-Undang Nomor  27 Tahun  2009  tentang  Majelis  Permusyawaratan  Rakyat,  Dewan  Perwakilan Rakyat,  Dewan  Perwakilan  Daerah,  dan  Dewan  Perwakilan  Rakyat  Daerah (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2009  Nomor  123,  Tambahan Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Nomor  5043)  bertentangan  dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
·  Menyatakan Pasal 14 ayat (1) sepanjang menyangkut  frasa  “yang berasal dari anggota DPR” dan frasa “yang terdiri atas 2 (dua) orang wakil ketua berasal dari anggota DPR dan 2 (dua) orang wakil ketua dari anggota DPD”, serta Pasal 14 ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan  Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  (Lembaran Negara Republik  Indonesia  Tahun  2009  Nomor  123,  Tambahan  Lembaran  Negara Republik Indonesia Nomor 5043) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
·  Menyatakan kata, “ditetapkan” dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 27  Tahun  2009  tentang Majelis  Permusyawaratan Rakyat, Dewan  Perwakilan Rakyat,  Dewan Perwakilan  Daerah,  dan  Dewan  Perwakilan  Rakyat  Daerah (Lembaran  Negara  Republik  Indonesia  Tahun  2009  Nomor  123,  Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043) harus dimaknai “dipilih”;
·  Memerintahkan pemuatan Putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi pada hari Senin  tanggal empat belas bulan September  tahun dua ribu  sembilan  dan  diucapkan  dalam  persidangan  terbuka  untuk  umum  pada  hari Rabu  tanggal  tiga  puluh  bulan  September  tahun  dua  ribu  sembilan,  oleh  kami sembilan  Hakim  Konstitusi,  yaitu  Moh.  Mahfud  MD,  selaku  Ketua  merangkap Anggota,  Abdul  Mukthie  Fadjar,  Maruarar  Siahaan,  M.  Akil  Mochtar,  M.  Arsyad Sanusi, Muhammad Alim, Maria Farida Indrati, Achmad Sodiki, dan Harjono, masing-masing sebagai Anggota dengan dibantu oleh Makhfud sebagai Panitera Pengganti, serta  dihadiri  oleh  para  Pemohon  dan/atau  Kuasanya,  Pemerintah  atau  yang
mewakili, dan Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili.
KETUA,
ttd.
Moh. Mahfud MD
ANGGOTA-ANGGOTA,
ttd.                                          ttd.                                                      ttd.
Maruarar Siahaan                    td Abdul Mukthie Fadjar                    M. Akil Mochtar
ttd.                                          ttd.                                                      ttd.
Achmad Sodiki                               Harjono                                       Maria Farida Indrati
ttd.                                          ttd.
M. Arsyad Sanusi                   Muhammad Alim
PANITERAPENGGATI
ttd.
Makhfud

Tidak ada komentar:

Posting Komentar