Oleh:Prof.Dr. Arkanudin,M.Si
(Guru Besar Sosiologi dan Antropologi Fisip Universitas Tanjungpura
Pontianak Kalbar)
PENDAHULUAN
Suku Dayak, sebagaimana suku bangsa lainnya, memiliki kebudayaan atau adat-istiadat tersendiri yang pula tidak sama secara tepat dengan suku bangsa lainnya di Indonesia. Adat-istiadat yang hidup di dalam masyarakat Dayak merupakan unsur terpenting, akar identitas bagi manusia Dayak. Kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik dari manusia dengan belajar (Garna, 1996). Jika pengertian tersebut dijadikan untuk mengartikan kebudayaan Dayak maka paralel dengan itu, kebudayaan Dayak adalah seluruh sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia Dayak dalam rangka kehidupan masyarakat Dayak yang dijadikan milik manusia Dayak dengan belajar. Ini berarti bahwa kebudayaan dan adat-istiadat yang sudah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat Dayak, kepemilikannya tidak melalui warisan biologis yang ada di dalam tubuh manusia Dayak, melainkan diperoleh melalui proses belajar yang diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.
Selanjut berdasarkan atas pengertian kebudayaan tersebut, bila merujuk pada wujud kebudayaan sebagaimana yang dikemukakan Koentjaraningrat, maka dalam kebudayaan Dayak juga dapat ditemukan ketiga wujud tersebut yang meliputi: Pertama, wujud kebudayan sebagai suatu himpunan gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan. Wujud itu merupakan wujud hakiki dari kebudayaan atau yang sering disebut dengan adat, yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan dan memberi arah kepada perilaku manusia Dayak, tampak jelas di dalam pelbagai upacara adat yang dilaksanakan berdasarkan siklus kehidupan, yakni kelahiran, perkawinan dan kematian, juga tampak dalam pelbagai upcara adat yang berkaitan siklus perladangan; Kedua, wujud kebudayaan sebagai sejumlah perilaku yang berpola, atau lazim disebut sistem sosial. Sistem sosial itu terdiri dari aktivitas manusia yang berinteraksi yang senantiasa merujuk pada pola-pola tertentu yang di dasarkan pada adat tata kelakuan yang mereka miliki, hal ini tampak dalam sistem kehidupan sosial orang Dayak yang sejak masa kecil sampai tua selalu dihadapkan pada aturan-aturan mengenai hal-hal mana yang harus dilakukan dan mana yang dilarang yang sifatnya tidak tertulis yang diwariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi sebagai pedoman dalam bertingkah laku bagi masyarakat Dayak; Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, yang lazim disebut kebudayaan fisik, berupa keseluruhan hasil karya manusia Dayak, misalnya seperti rumah panjang dan lain-lain.
Berdasarkan atas pemahaman itu, maka kebudayaan Dayak sangat mempunyai makna dan peran yang amat penting, yaitu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari proses kehidupan orang Dayak. Atau dengan kata lain kebudayaan Dayak dalam perkembangan sejarahnya telah tumbuh dan berkembang seiring dengan masyarakat Dayak sebagai pendukungnya.
Dewasa ini, seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman, kebudayaan Dayak juga mengalami pergeseran dan perubahan. Hal ini berarti bahwa kebudayaan Dayak itu sifatnya tidak statis dan selalu dinamik; meskipun demikian, sampai saat ini masih ada yang tetap bertahan dan tak tergoyahkan oleh adanya pergantian generasi, bahkan semakin menunjukkan identitasnya sebagai suatu warisan leluhur.
Dalam konteks ini, dan dalam tulisan ini bermaksud untuk mengupas kebudayaan yang terdapat dalam masyarakat Dayak, baik yang berupa kebudayaan material maupun non material.
KEBUDAYAAN DAYAK
Sistem Religi dan Kepercayaan
Kepercayaan yang dianut oleh suatu suku bangsa dapat ditelusuri melalui ekpresi budaya seperti cerita rakyat, terutama dalam cerita yang berbentuk mitos tentang kejadian alam semesta dan manusia serta mitos-mitos lainnya yang menggambarkan keterkaitan yang hakiki antara insan manusia dan alam sekitarnya (Umberan, 1994). Hal yang sama juga dikatakan oleh Ukur (1994) bahwa untuk memahami makna religi dari alam sekitar dalam kebudayaan Dayak, sumber yang paling dapat membantu terutama mite-mite tentang kejadian alam semesta dan manusia serta mite-mite lainnya yang menggambarkan keterikatan dan keterkaitan hakiki antar insan dengan alam sekitar.
Mitos bukanlah sekedar cerita, tetapi melalui mitos yang hidup dalam masyarakat Dayak dapat diungkap rahasia yang mendasari dan melatarbelakangi sikap serta perilaku suku Dayak. Keberadaan mitos diyakini kebenarannya, dianggap suci, mengandung hal-hal ajaib, dan umumnya ditokohi oleh para dewa, sebab itu mitos dijadikan landasan untuk menata kehidupan masyarakat Dayak yang tampak pada berbagai ketentuan seperti adat, ritus dan kultus.
Mitos dihayati sebagai sejarah oleh masyarakat Dayak meskipun peristiwa-peristiwa yang dituturkan dalam mitos tidak terikat pada waktu dan ruang. Sejarah dalam konteks pemahaman suku Dayak terhadap mitos tersebut tidak dapat diverifikasi secara historis, menurut Ukur (1994) mitos dianggap sebagai sejarah karena memang sedemikianlah yang dihayati oleh insan Dayak.
Kepercayaan suku Dayak berhubungan erat dengan lingkungan sekitarnya, seperti hewan, tumbuhan-tumbuhan, air, bumi, dan udara. Kepercayaan itu begitu kuat sehingga suku Dayak percaya bahwa kehidupan akan menjadi baik jika adanya keseimbangan kosmos, sebab itu setiap makhluk hidup berkewajiban untuk senantiasa memelihara keserasian dan keseimbangan semesta, terutama manusia menurut kepercayaan suku Dayak merupakan bagian yang integral dari alam (Seli, 1996).
Sistem kepercayaan dan nilai-nilai budaya yang dimiliki oleh suku Dayak berkaitan erat sehingga sulit untuk dipisahkan. Kedua hal tersebut sama-sama berpengaruh pada kehidupan masyarakat Dayak (Seli,1996). Senada dengan pendapat Seli, Alqadrie (1994) juga menyatakan bahwa sistem kepercayaan atau agama bagi kelompok etnik Dayak hampir tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial ekonomi mereka sehari-hari. Ini berlaku pula antara nilai-nilai budaya itu dengan etnisitas dalam masyarakat Dayak. Kenyataan ini yang melatar belakangi kesimpulan Coomans (1987) dan Alqadrie (1991) yang menyatakan bahwa keperipadian, tingkah laku, sikap, perbuatan, dan kegiatan sosial ekonomi orang Dayak sehari-hari dibimbing, didukung oleh dan dihubungkan tidak saja dengan sistem kepercayaan atau ajaran agama dan adat-istiadat atau hukum adat, tetapi juga dengan nilai budaya dan etnisitas.
Suku Dayak di Kalimantan memiliki sistem kepercayaan yang kompleks dan sangat berkembang (Alqadrie, 1987). Kompleksitas sistem kepercayaan tersebut di dasarkan pada tradisi dalam masyarakat Dayak yang mengandung dua prinsip yaitu: (1) unsur kepercayaan nenek moyang (ancestral belief) yang meneknkan pada pemujaan nenek moyang, dan (2) kepercayaan terhadap Tuhan yang satu (the one God) dengan kekuasaan tertinggi dan merupkan suatu prima causa dari kehidupan manusia (Alqadrie, 1990).
Dalam penelitian Tim Penelitian Kantor Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kalimantan Barat (1988) ditemukan bahwa sistem kepercayaan nenek moyang dalam masyarakat Dayak berisi berbagai peraturan tentang hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan roh nenek moyang, dan manusia alam beserta isinya. Bahkan menurut Alqadrie (1994) dan Seli (1996) berkaitan sistem kepercayaan tersebut masyarakat Dayak juga percaya bahwa Tuhan yang tertinggi yang satu (the one highest God) memiliki dua fungsi atau karakter ketuhanan (devinity). Karakter yang satu mendiami dunia “atas” atau dunia yang “lebih tinggi”, dan karakter lainnya tinggal “di bawah” atau yang “lebih rendah” yaitu bumi yang menjadi tempat tinggal manusia. Orang Dayak percaya kedua karakter ini masing-masing memuat sifat yang baik dan buruk.
Kompleksitasnya sistem kepercayaan orang Dayak, menurut Alqagrie (1994) di tandai juga oleh kemampuan mereka menyerap beberapa unsur keagamaan atau kepercayaan dari luar seperti pengaruh Cina dalam penggunaan barang-barang keramik (mangkok dan tempayan) yang dianggap memiliki kekuatan magis dan dapat mendatangkan keberuntungan, maupun penggunaan berbagai macam dekorasi naga (tambon) atau (dragon) yang melambangkan secara mitologis Tuhan tertinggi yang satu sebagai penguasa dunia. Lebih lanjut menurut Alqdarie (1994) pengaruh ekstern lainnya berasal dari unsur-unsur Hunduisme dan Islamisme. Kedua unsur ini dalam masyarakat Dayak dapat ditemukan dalam istilah-istilah keagamaan yang digunakan untuk menggambarkan Tuhan, seperti Mahatara yang mungkin berasal dari istilah dalam agama Hindu. Maha Batara yang berarti Tuhan Maha Besar, atau Mahatala, Lahatala/Alatala yang berasal dari ucapan Allah Ta’ala dalam Islam yang berarti Allah Maha Tinggi. Selain itu, Tuhan tertinggi yang satu secara simbolik diekspresikan oleh burung enggang yang menyajikan Ketuhanan dunia “atas”.
Dalam pada itu, penggunaan burung enggang dan naga sebagai simbol dari Tuhan yang satu, sejalan dengan pendapat Durkheim tentang totemisme. Unsur penting dari kepercayaan nenek moyang dalam masyarakat Dayak adalah barang-barang keramik Cina, dekorasi-dekorasi yang menggunakan simbol naga dan burung enggang, dan kelompok etnik Dayak sendiri sebagai penganut kepercayaan nenek moyang mereka dapat dikatakan sejajar dengan tiga unsur totemisme Australia yang ditemui oleh Durkheim (dalam Alqadrie, 1994) bahwa lambang totemik (totemic emblem) adalah berupa hewan atau tumbuhan-tumbuhan, dan anggota dari kaum, suku atau klan (clan)
Tiga unsur dalam masyarakat Dayak merupakan satu kesatuan yang terintegrasi dan merupakan manifestasi dari organisasi sosial. Dalam kaitan dengan itu, Mclennan (1986 dalam Alqadrie, 1994) menyatakan bahwa hubungan yang dekat antara totemisme tersebut merupakan bentuk spesifik dari organisasi sosial. Alqadrie (1994) melihat bahwa penggunaan naga dan burung enggang bukanlah suatu manifestasi dari kesederhanaan pemikiran orang Dayak di Kalimantan tetapi justru merupakan refleksi dari kompleksitasnya sistem kepercayaan mereka pada mana totemisme bukan semata-mata suatu kepercayaan, tetapi mungkin pula menjadi sumber, atau paling kurang, suatu embrio dari agama-agama berkembang lainnya. Tambahan pula penggunaan dua jenis hewan di atas juga merupakan perwujudan dari organisasi sosial yang khas dalam masyarakat Dayak.
Melihat kenyataan tersebut dapatlah dikatakan bahwa sesungguhnya suku Dayak merupakan rumpun suku bangsa yang unik karena walupun mereka hidup di lingkungan yang serba alami dan tradisional tetapi dapat melahirkan suatu pemikiran yang relgius yang kompleks dan sangat sempurna.
Sistem Pengetahuan
Pengetahuan Tentang Gejala-Gejala Alam
Kebutuhan orang Dayak memperoleh padi ladang yang banyak telah melahirkan sistem pengetahuan yang dapat memahami sifat-sifat gejala alam yang berpengaruh terhadap perladangan. Menurut Mudiyono (1995) pengetahuan tentang gejala alam yang berkaitan dengan perladangan pada orang Dayak di Kalimantan adalah pengetahuan tentang bintang tujuh. Apabila bintang tujuh telah timbul maka pada malam hari udara akan menjadi teramat dingin sampai pagi hari adalah suatu pertanda bahwa orang sudah sampai pada waktunya mulai membuka ladang. Jika bintang tujuh di Timur, sedangkan bintang satu lebih rendah dari bintang tujuh menandakan bahwa orang sudah boleh mulai menanam padi. Apabila di langit tampak garis seperti tempbok dan awan menyerupai sisik ikan maka orang mengetahui bahwa musim kemarau telah tiba. Sebaliknya jika langit tampak merah pada pagi hari dan awan menggumpal seperti gunung adalah pratanda bahwa hari atau musim penghujan segera tiba. Gejala datangnya musim hujan dapat pula diketahui apabila akar-akar kayu yang tumbuh dipinggir sungai bertunas dan pohon buah-buah banyak yang berbunga.
Ketika tanda-tanda alam telah memberitahu bahwa musim kemarau segera akan tiba maka orang mulai bersiap diri untuk berladang. Parang dan beliung sebagai alat berladang mulai di asah supaya tidak menemui hambatan pada saatnya membuka ladang. Pekerjaan berladang harus memperhatikan benar-benar perputaran waktu dan memahami sifat-sifatnya. Ketidak sesuaian antara kondisi alam dengan tahapan berladang akan mengakibatkan kegagalan panen dan bila hal ini terjadi adalah merupakan malapetaka bagi penduduk.
Sistem pengetahuan mereka juga mengajarkan bahwa apabila akan membuat bahan-bahan rumah, hendaknya tidak menebang pohon kayu dan bambu pada waktu bulan di langit sedang membesar karena pelanggaran yang dilakukan berarti kayu dan bambu akan cepat dimakan bubuk. Oleh karena itu waktu yang tepat untuk meramu bahan-bahan bangunan kayu dan bambu adalah ketika bulan di langit sedang surut.
2. 2. 2. Pengetahuan Tentang Lingkungan Fisik
Lingkungan fisik orang Dayak adalah hutan. Orang Dayak mengenal persis jenis-jenis hutan yang paling baik untuk dijadikan ladang. Untuk memastikan kesuburan tanah, biasanya terlebih mereka meneliti keadaan pepohonan yang tumbuh dan tanah di bagian permukaan. Jika terdapat pohon-pohon kayu besar dan tinggi menandakan tanah tersebut sudah lama tidak di ladangi dan karena itu humusnya sangat subur. Untuk memastikan kesuburan tanah di amatinya dengan cara memasuki ujung parang ke dalam tanah kira-kira 10 cm. Ketika parang dicabut kembali maka tanah yang melekat pada ke dua belah sisi parang dapat menunjukkan tentang kesuburan tanah. Jika banyak tanah yang melekat pada ke dua sisi parang dan gembur kehitam-hitaman berarti tanah setempat adalah subur. Sebaliknya jika kondisi tanah setempat kurus maka yang melekat ke dua sisi parang adalah tanah berpasir.
Lingkungan fisik lain yang dikenal sebagai tempat berladang adalah tanah yang terletak pada lembah di antara bukit-bukit. Jenis tanah ini khusus orang Dayak di Kalimantan Barat di sebut jenis tanah payak labak atau payak. Keadaan tanah paya selalu berair dan becek. Ladang di tanah paya biasanya bersifat monokultur dapat ditanam padi selama 3 tahun berturut-turut. Sesudah tahun ke tiga tanah paya ditinggalkan selama 2-4 tahun untuk kemudian ditanam lagi.
Pengetahuan Tentang Jenis-Jenis Tanaman
Pengetahuan tentang flora diperoleh secara turun temurun. Beraneka ragam jenis tanaman dan tumbuh-tumbuhan dikenal sebagai flora untuk dimakan, dijadikan obat dan untuk berburu dan menuba ikan.
Jenis tanaman untuk dikonsumsi sendiri kecuali padi dikenal juga tanaman jenis cabai (Capsicum annuum L), mentimun (Cucumis sativus L), jagung (Zea mays L), singkong (Manihot utilissima L), bambu muda atau rebung (Bambusa spinosa). Tanaman jenis palawija dan sayur-sayuran ditanam secara tumpang sari pada lahan ladang. Pohon buah-buahan yang paling banyak adalah durian yang tidak dibudidayakan secara baik sehingga lebih berkesan sebagai pohon buah-buahan yang tumbuh liar pada tanah-tanah bekas ladang.
Orang Dayak juga mengenal jenis-jenis tumbuh-tumbuhan pembuat warna pada anyaman tikar atau barang-barang kerajinan. Warna merah dapat diperoleh dari kulit buah joronang untuk memberi warna merah pada rotan dan sebagainya. Kulit kayu porete dapat memberikan warna hitam dan kulit kayu ngkubogng dapat dimanfaatkan sebagai lem pada kayu. Jenis-jenis tumbuhan secara liar di hutan-hutan Kalimantan.
Orang Dayak di Kalimantan khusus di Kalbar juga mengenal getah kayu yang disebut ipuh yang mengandung racun dan amat berbahaya karena dapat mematikan. Getah kayu ipuh dipakai untuk memolesi ujung tombak atau ujung anak sumpit. Binatang buruan seperti rusa, babi hutan yang terkena ujung tombak yang sudah diberi getah kayu ipuh, walaupun hanya terluka sedikit maka dalam waktu sebentar binatang tersebut akan mati. Kulit dan daging di sekitar luka harus dibuang sebelum dimasak dan tidak boleh dimakan.
Sebagai masyarakat yang akrab dengan lingkungan hutan, orang Dayak juga memiliki pengetahuan dalam membedakan dengan baik jenis-jenis kayu yang sangat baik mutunya untuk ramuan bahan-bahan bangunan. Seperti kayu besi atau kayu belian (ensidroxylon zwageri), meranti merah (shorea leprosula), tekam (hopea sangal korth), tengkawang (shorea Sp), medang (litrea Sp) ramin (gonystylus bancanus kwiz) dan rengas (buchanania arborescens)
Sistem Mata Pencaharian dan Peralatan Hidup
Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya orang Dayak tidak dapat dipisahkan dengan hutan; atau dengan kata lain hutan yang berada di sekeliling mereka merupakan bagian dari kehidupannya dan dalam memenuhi kebutuhan hidup sangat tergantung dari hasil hutan. Sapardi (1994), menjelaskan bahwa hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Selain itu hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara turun temurun dan bahkan hutan adalah bagian dari hidup mereka secara holistik dan mentradisi hingga kini, secara defakto mereka telah menguasai kawasan itu dan dari hutan tersebut mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok.
Kegiatan sosial ekonomi orang Dayak meliputi mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkap ikan, perkebunan rakyat seperti kopi, lada, karet, kelapa, buah-buah dan lain-lain, serta kegiatan berladang (Sapardi,1992). Kegiatan perekonomian orang Dayak yang pokok adalah berladang sebagai usaha untuk menyediakan kebutuhan beras dan perkebunan rakyat sebagai sumber uang tunai yang dapat dipergunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup yang lain; walaupun demikian kegiatan perekonomian mereka masih bersifat subsistensi (Mering Ngo, 1989; Dove, 1985).
Menurut Arman (1994), orang Dayak kalau mau berladang mereka pergi ke hutan, dan terlebih dahulu menebang pohon-pohon besar dan kecil di hutan, kalau mereka mengusahakan tanaman perkebunan mereka cenderung memilih tanaman yang menyerupai hutan, seperti karet (Havea brasiliensis Sp),rotan(Calamus caesius Spp), dan tengkawang (shorea Sp). Kecenderungan seperti itu bukan suatu kebetulan tetapi merupakan refleksi dari hubungan akrab yang telah berlangsung selama berabad-abad dengan hutan dan segala isinya.
Hubungan antara orang Dayak dengan hutan merupakan hubungan timbal balik. Disatu pihak alam memberikan kemungkinan-kemungkinan bagi perkembangan budaya orang Dayak, dilain pihak orang Dayak senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya (Arman, 1994). Persentuhan yang mendalam antara orang Dayak dengan hutan, pada giliran melahirkan apa yang disebut dengan sistem perladangan. Ukur (dalam Widjono,1995), menjelaskan bahwa sistem perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak. Ave dan King (dalam Arman,1994), mengemukakan bahwa tradisi berladang (siffting cultivation atau swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka yang merupakan sebagai mata pencaharian utama. Sellato (1989 dalam Soedjito 1999), memperkirakan sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua abad yang lalu. Mering Ngo (1990), menyebutkan cara hidup berladang diberbagai daerah di Kalimantan telah dikenal 6000 tahun Sebelum Masehi.
Almutahar (1995) mengemukakan bahwa aktivitas orang Dayak dalam berladang di Kalimantan cukup bervariasi, namun dalam variasi ini terdapat pula dasar yang sama. Persamaan itu terlihat dari teknologi yang digunakan, cara mencari tanah atau membuka hutan yang akan digunakan, sumber tenaga kerja dan sebagainya.
Dalam setiap aktivitas berladang pada orang Dayak selalu didahului dengan mencari tanah. Dalam mencari tanah yang akan dijadikan sebagai lokasi ladang mereka tidak bertindak secara serampangan. Ukur (1994), menjelaskan bahwa orang Dayak pada dasarnya tidak pernah berani merusak hutan secara intensional. Hutan, bumi, sungai, dan seluruh lingkungannya adalah bagian dari hidup. Menurut Mubyarto (1991), orang Dayak sebelum mengambil sesuatu dari alam, terutama apabila ingin membuka atau menggarap hutan yang masih perawan harus memenuhi beberapa persyaratan tertentu yaitu: pertama, memberitahukan maksud tersebut kepada kepala suku atau kepala adat; kedua, Seorang atau beberapa orang ditugaskan mencari hutan yang cocok. Mereka ini akan tinggal atau berdiam di hutan-hutan untuk memperoleh petunjuk atau tanda, dengan memberikan persembahan. Usaha mendapatkan tanda ini dibarengi dengan memeriksa hutan dan tanah apakah cocok untuk berladang atau berkebun; ketiga, apabila sudah diperoleh secara pasti hutan mana yang sesuai, segera upacara pembukaan hutan itu dilakukan, sebagai tanda pengakuan bahwa hutan atau bumi itulah yang memberi kehidupan bagi mereka dan sebagai harapan agar hutan yang dibuka itu berkenan memberkati dan melindungi mereka.
Hasil penelitian Mudiyono (1990), mengemukakan bahwa kreteria yang digunakan oleh ketua adat atau kepala suku memberi izin untuk mengolah lahan di lihat dari kepastian hubungan hukum antara anggota persekutuan dengan suatu tanah tertentu dan menyatakan diri berlaku “ke dalam” dan “ke luar”. Berlakunya “ke luar” menyatakan bahwa hanya anggota persekutuan itu yang memegang hak sepenuhnya untuk mengerjakan, mengolah dan memungut hasil dari tanah yang digarapnya. Sungguhpun demikian adakalanya terdapat orang dari luar persekutuan yang karena kondisi tertentu diberi izin untuk menumpang berladang untuk jangka waktu satu atau dua musim tanam.
Berlakunya “ke dalam” menyatakan mengatur hak-hak perseorangan atas tanah sesuai dengan norma-norma adat yang telah disepakati bersama. Anggota persekutuan dapat memiliki hak untuk menguasai dan mengolah tanah, kebun atau rawa-rawa. Apabila petani penggarap meninggalkan wilayah (benua) dan tidak kembali lagi maka penguasaan atas tanah menjadi hilang. Hak penguasaan tanah kembali kepada persekutuan dan melalui musyawarah ketua adat dapat memberikannya kepada anggota lain untuk menguasainya. Tetapi jika seseorang sampai pada kematiannya tetap bermukim di daerah persekutuan maka tanah yang telah digarap dapat diwariskan kepada anak cucunya.
Hasil penelitian Kartawinata (1993) pada orang Punan, dan Sapardi (1992) pada orang Dayak Ribun dan Pandu, pada umumnya memilih lokasi untuk berladang di lokasi yang berdekatan dengan sungai. Tempat-tempat seperti itu subur dan mudah dicapai.
Dalam studi kasus tentang sistem perladangan suku Kantu’ di Kalimantan Barat Dove, (1988) merinci tahap-tahap perladangan berpindah sebagai berikut: (1) pemilihan pendahuluan atas tempat dan penghirauan pertanda burung; (2) membersihkan semak belukar dan pohon-pohon kecil dengan parang; (3) menebang pohon-pohon yang lebih besar dengan beliung Dayak; (4) setelah kering, membakar tumbuh-tumbuhan yang dibersihkan; (5) menanam padi dan tanaman lainnya ditempat berabu yang telah dibakar itu (kemudian di ladang berpaya mengadakan pencangkokan padi); (6) menyiangi ladang (kecuali ladang hutan primer);(7) menjaga ladang dari gangguan binatang buas; (8) mengadakan panen tanaman padi; dan (9) mengangkut hasil panen ke rumah.
Selanjutnya menurut Soegihardjono dan Sarmanto (1982) ada empat kegiatan tambahan yang tidak kalah penting dalam kegiatan berladang adalah: (1) pembuatan peralatan ladang (yaitu menempa besi, membuat/memahat kayu dan menganyam rumput atau rotan); (2) membangunan pondok di ladang; (3) memproses padi; (4) menanam tanaman yang bukan padi. Dalam setiap tahap kegiatan mengerjakan ladang tersebut biasanya selalu didahului dengan upacara-upacara tertentu. Hal ini dilakukan dengan maksud agar ladang yang mereka kerjakan akan mendapat berkah dan terhindar dari malapetaka.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dakung (1986) tentang suku Dayak di Kalimantan Barat, bahwa peralatan yang digunakan dalam melakukan aktivitas sosial ekonomi seperti mengumpulkan hasil hutan, berburu, menangkap ikan, perkebunan rakyat seperti kopi (Coffea arabica), karet (Havea brasiliensis), kelapa (Cocos nucifera), buah-buahan, antara lain ialah pisau, kapak. baliong, tugal, pangatam, bide, inge, atokng, nyiro, pisok karet, tombak dan lain-lain.
Dalam pada itu, jenis-jenis peralatan rumah tangga seperti alat-alat masak memasak antara lain periuk atau sampau dari bahan kuningan atau besi untuk menanak nasi, kuwali terbuat dari tanah liat atau logam, panci dari bahan logam, ketel atau ceret dari bahan logam, dan tungku batu. Jenis alat tidur antara lain tikar yang terbuat dari daun dadang dan daun urun, kelasa yaitu tikar yang terbuat dari rotan, bantal yang terbuat dari kabu-kabu (kapuk) yang disarung dengan kain, klambu, katil dan pangking yaitu tempat tidur yang terbuat dari kayu.
Kesenian
Orang Dayak walaupun dalam kehidupan yang agak sederhana, ternyata sangat gemar akan kesenian. Menurut Riwut (1958) kesenian yang di miliki oleh orang Dayak di Kalimantan berupa seni: (1) tari; (2) suara; (3) ukir; dan (4) seni lukis. Untuk mengetahui secara lebih mendalam jenis kesenian yang dimiliki oleh orang Dayak sebagaimana yang dikemukakan oleh Riwut tersebut akan diuraikan secara rinci sebagai berikut:
Seni Tari
Seni tari yang hidup dan berkembang dilingkungan masyarakat Dayak berupa:
(1) Nasai jenis tarian yang diperuntukan untuk menyambut tetamu agung (orang berpangkat), menyambut pahlawan yang menang berperang, yang dilakukan oleh orang-orang tua, kaum wanita terutama para gadis dengan gerak kaki tangannya yang diiringi pula dengan seni suara dan bunyi-bunyian.
(2) Gantar, jenis tarian yang diperuntukan selain untuk menyambut tamu-tamu agung, juga tari-tarian pada upacara memotong padi. Tari-tarian ini terdapat pada Suku Dayak Punan, Kenyah, dan Bahau. Tari Nginyah, tari ini terkenal dengan nama tari perang yang terdiri atas dua macam yaitu pertama, untuk membela diri bila mana dalam peperangan tari yang dilakukan oleh laki-laki dan wanita; kedua, dalam pertunjukan waktu ada pesta. Tarian ini menggunakan senjata mandau, sumpit dan perisai, yang terdapat pada suku Dayak Kenyah Ot, Kenyah Punan dan Kenyah Bahau.
(3) Deder, tarian ini ada dua jenis yaitu Deder Siang dan Deder Dusun Tengah yang dipersembahkan untuk menyambut tamu dan ketika ada upacara adat dan lain-lain, yang berasal dari daerah Barito Hulu dan Barito Tengah.
(4) Bukas, yaitu jenis tarian yang dipersembahkan untuk menyambut kedatangan Panglima dari berperang, yang dilakukan oleh 1 – 2 sampai 7 orang terdiri dari pemuda dan gadis-gadis dengan mempergunakan bambu dan tombak disertai dengan nyanyian-nyanyian. Terdapat pada suku Dayak Maanyan dan Dusun.
(5) Nganjan, jenis tarian ini dilakukan baik oleh laki-laki maupun wanita yang menari mengelilingi binatang, seperti sapi, kerbau, bagi yang akan dibunuh untuk upacara pesta adat mengantar arwah nenek moyangnya ke surga yang dinamai “tiwah”. Terdapat pada suku Dayak Klemantan, Katingan dan Kahayan.
(6) Dedeo (karang dedeo), yaitu jenis tarian yang lazim dipersembahkan pada saat pesta perkawinan yang berasal dari suku Dayak yang berada di Barito Tengah dan Barito Hilir.
(7) Balian, yaitu tarian yang semata-mata diperuntukan untuk merawat orang sakit yang dilakukan oleh Balian yang biasanya adalah seorang laki-laki selama 1 – 3 malam. Tarian ini hampir terdapat pada seluruh suku Dayak.
(8) Kinyah, tari kenyah ini bukanlah tarian biasa tetapi merupakan tarian yang khusus dipelajari oleh para perwira Dayak zaman dahulu yang digunakan untuk menangkis serangan musuh dan untuk meringankan badan melompat dan memperkuat tangan untuk memotong kepala pihak musuh. Tarian ini berasal dari suku Dayak Kenyah atau Dayak Bahau dari Hulu Mahakam dan dari Apo Kayan dalam daerah Kalimantan Timur.
(9) Kerangka atau Tari Gumbeuk, yaitu tarian ini pada khakekatnya di khususkan dalam upacara “Ijambe atau Manyalimbat” yang dilakukan oleh laki-laki dan anak-anak dengan mengelilingi tempat tulang kering dari yang meninggal dunia.
(10) Kembang Pandan, yaitu jenis tarian yang dilakukan oleh muda-mudi Dayak dengan berpegangan tangan, terutama terdapat pada suku Dayak di Kalimantan Barat dan Kalimantan Selatan.
(11) Nyadum Nyambah, yaitu merupakan tarian permintaan maaf dan ampun kepada tamu. Tarian ini berasal dari Kabupaten Kapuas.
(12) Hatusuh Bua, yaitu tarian gembira pada waktu menyambut musim buah-buahan yang banyak dan melimpah. Tarian ini berasal dari suku Dayak di Kabupaten Kapuas.
(13) Menggetem, yaitu tarian gembira yang dilakukan pada saat memotong padi. Tarian ini berasal dari suku Dayak di Kabupaten Kapuas.
(14) Kinjak Karing, yaitu tarian yang dilakukan oleh kaum wanita untuk membela pahlawan yang sedang berperang. Tarian ini terdapat pada suku Dayak di Kaputen Kapuas dan Kahayan Hulu.
(15) Suling Balawung, yaitu jenis tarian yang dipertunjukan waktu ayam mengeram dan menetaskan telornya. Tarian ini terdapat pada suku Dayak di Kapaten Kapuas.
(16) Tugal, yaitu jenis tarian yang dipertunjukan pada saat menanam padi dengan cara di tugal, yang berasal dari suku Dayak di Kalimantan Tengah.
Seni Suara
Kesenian dalam bentuk seni suara yang hidup dan berkembang dilingkungan masyarakat Dayak adalah berupa nyanyian-nyanyian yang berkaitan dengan kehidupan religi yang mereka anut dan percaya, seperti nyanyian-nyanyian waktu memotong padi, waktu berkayuh, berladang, menumbuk padi, berperang, berjalan di hutan, berburu, selagi pesta, bersukaria, dan nyanyian yang memuja Tuhan serta nyanyian tentang kematian keluarga, diantaranya:
(1) Kandan, yaitu nyanyian-nyanyian yang berisi sanjungan dan pujian sambil mendoakan semoga rakyat senang dan makmur, serta pimpinan agar dalam memerintah selalu bijaksana dan adil. Nyanyian ini terdapat pada suku Dayak Siang atau Murung di Barito Hulu.
(2) Dedeo dan Ngaloak, jenis nyanyian yang dilakukan pada pesta saat perkawinan atau pada pesta kecil, yang terdapat pada suku Dayak Dusun Tengah Kabupaten Barito.
(3) Setangis, yaitu nyanyian yang dilakukan pada saat pesta kematian. Pada khakekatnya nyanyian ini hanya berazaskan pada riwayat si mati dan jasa-jasanya sewaktu hidup serta kedudukan dari keluarga dan famili yang meninggal yang masih ditinggalkan.
(4) Manawar, yaitu nyanyian untuk mengantar jiwa atau semangat beras kepada TuhanNYA, yang dilakukan oleh orang tua, ahli adat dan ahli agama Dayak.
(5) Kayau, yaitu nyanyian yang menceritakan sesuatu yang dilakukan oleh gadis-gadis Dayak secara bersahut-sahutan 2 – 4 orang.
(6) Mansana Kayau Pulang, yaitu nyanyian yang dinyanyikan pada waktu malam sebelum tidur oleh orang tua untuk mengobarkan semangat anak-anaknya agar memiliki rasa dendam terhadap orang yang telah dibunuh oleh Tambun Bupati.
(7) Ngendau, yaitu nyanyian untuk bersenda gurau diantara pemuda dan gadis dengan bersahut-sahutan.
(8) Kelalai-lalai, yaitu sebuah nyanyian yang disertai dengan tari-tarian untuk menyambut para pembesar atau tamu. Nyanyian ini terdapat pada suku Dayak Mama (darat) di Kota Waringin.
(9) Natun Pangpangaal, yaitu nyanyian ratap tangis kesedihan karena ada kematian keluarga.
(10) Dodoi, yaitu suatu nyanyian yang dilakukan pada saat berkayuh diperahu atau rakit.
(11) Dondong, yaitu nyanyian yang dilakukan baik pada saat menanam (menugal) maupun memotong padi.
(12) Ngandan, yaitu nyanyian untuk memuji-muji atau menimang-nimang pemuda-pemuda yang dilakukan oleh orang tua.
(13) Mansana Bandar, yaitu nyanyian yang menceritakan seorang pahlawan putri pada zaman dahulu.
(14) Balian, yaitu nyanyian yang dilantunkan pada saat upacara tiwah upacara mengantar arwah orang-orang yang sudah meninggal (mati).
Sebagai ilustrasi dikemukakan beberapa contoh bait dari nyanyian tersebut, misalnya nyanyian yang berkaitan dengan upacara kematian pada suku Dayak Maanyan:
Tawang kanyu erang tumpalatan
Angkang kedang ba iwu jumpun haket
Ada malupui lalan mainsang inse
Enoi isasikang piak
Takuit tawang ma-ulung kekenrein
Umbak basikunrung bakir
Yang artinya dalam bahasa Indonesia:
Agar jangan sesat di perapatan
Tertahan di hutan lebat
Jangan mengikuti jalan yang berliku-liku
Lorong bersimpang seperti kaki anak ayam
Tersesat ke laut lepas gelombang memukul dahsyat
Contah lain adalah nyanyian berkaitan dengan masalah perang dalam bahasa Dayak Ngaju:
Amon Rikat Rambang akan manang
Antang terawang kilau terawang tinggang
Manintu panunjuk ije hila gantau
Amon tege imeteng dawen sawang dandang tingang
Antang manri dia hakipak
Sambil menguik
Amon ampie Ringkai akan kalah
Manari sambil manangis
Manintu patinju ije imeteng pondok apoi
Yang artinya dalam bahasa Indonesia:
Kalau Rangkai Rambang hendak berperang
Elang terbang seperti terbang tinggang
Menuju petunjuk yang sebelah kanan
Kalau ada diikat sawang dandang tinggang
Elang menari tidak bergerak sayapnya
Sambil bersuit-suit
Kalau rupanya Rinmgkai akan kalah
Menari terbang sambil menangis
Menuju petunjuk yang diikat pondok api
Seni Ukir
Kesenian dalam bentuk seni ukir yaitu berupa ukir-ukiran pada hulu mandau yang terbuat dari kayu maupun tanduk rusa, sarung mandau, patung, perisai dan sumpit. Semua ukir-ukiran tersebut memiliki nama dan makna yang tersendiri.
Seni lukis
Kesenian dalam bentuk seni lukis masyarakat Dayak yaitu berupa seni lukis seluruh badan badan manusia (tato) dengan menggunakan alat yang disebut “Tutang atau Cacah” yang dilakukan sangat teliti dan hati-hati. Gambar-gambar pada peti mati yang dinamai “runi”, kakurung di sandung-sandung (rumah tempat menyimpan tulang belulang orang yang telah meninggal), di patung dan lain-lain.
Lebih lanjut di jelaskan oleh Riwut (1958) dan Sukanda (1994) bahwa orang Dayak di Kalimantan dalam kegiatan tari-tarian dan dalam melantunkan berbagai jenis nyanyian selalu di dukung oleh berbagai jenis alat-alat bunyian yang terbuat dari besi, kayu ataupun bambu seperti (ketambung atau gendang, tote atau serupai, kalali atau suling panjang), guruding atau ketong, garantong (gong besar), kangkanong (gong kecil), gandang mara (gendang pendek), ketambung (gendang kecil), sarunai, kacapi (kecapi), gariding, suling bahalang, suling balawang dan kangkanong humbang.
Bahasa
Riwut (1958) berdasarkan hasil penyelidikannya terhadap bahasa yang digunakan oleh orang Dayak di Kalimantan khususnya Dayak yang berada di Kalimantan Barat, Timur, Selatan dan Utara hampir semuanya mengerti bahasa Ot-Danum atau Dohoi, sedangkan orang Dayak Kalimantan Tengah dan Selatan sebagai bahasa perantaraan umumnya adalah bahasa Dayak Ngaju yang juga disebut bahasa Kapuas.
Tiap-tiap suku Dayak di Kalimantan memiliki bahasa daerah sendiri-sendiri dengan dialek satu dengan lainnya berbeda, misalnya bahasa Ot-Danum kebanyakan memakai huruf “o” dan “a” tetapi bahasa Dayak Ngajuk banyak memakai “e” dan “a”. Sebagai ilustrasi disajikan beberapa bahasa Dayak dari beberapa suku Dayak yang ada di Kalimantan.
Bentuk Hitungan Angka Dalam Beberapa Bahasa Dayak
Indone Ngaju Bahau Bajau Ot- Pasir Maanyan Lepo
sia Danum
1 Ije Je Sa Ico Erai Isa Ca
2 Due Dua Dua Doo Doeo Rueh Dua
3 Telo Telo Tee Toro Toloe Telu Telo
4 Epat Epat Empat Opat Opat Epat Pat
5 Lime Lime Lime Rimo Limo Dime Lema
6 Jahawen Enam Enem Unom Onom Enem Enam
7 Uju Tuju Pitu Pito Turu Pitu Tujuh
8 Hanya Saya Walu Waru Walu Walu’ Ay’ah
9 Jalatien Pitan Sanga Sioi Sie Suei Pien
10 Sepuluh Pulu Sepuluh Poro Sapulu Pulu’ Pulu
Sumber : Riwut, (1958)
Berdasarkan ilustrasi dalam bentuk hitungan angka yang digambarkan oleh Riwut tersebut, hanyalah sebagian kecil dari contoh bahasa orang Dayak yang ada di Kalimantan. Dari ilustrasi ini dapatlah dipahami bahwa walaupun mereka berasal dari satu rumpun suku yang sama yaitu Dayak, namun dalam kenyataannya terdapat banyak perbedaan baik dari segi dialek maupun dalam arti kata seperti dalam contoh berikut ini:
Perbedaan dialek dan arti kata dalam beberapa bahasa Dayak
Bahasa Indonersia Bahasa Dayak
Ngajuk Bahasa Dayak Ot- Danum Bahasa Dayak Maanyan
1 2 3 4
Allah
Perut
Beras
Bapak
Makan
Sakit
Kepala
Mati
Hidup
Salah
Datang
Hitam
Merah
Perempuan
Laki-laki
Obat
Tiang
Ayam
Babi
Anjing
Riam
Panas
Minum
Marah
Cinta
Hari
Nenek laki-laki
Nenek perempuan
Perahu
Dayung
Lantai
Luka
Sombong
Celana
Telinga
Menyelam
Kelapa
Nasi
Malu
Kera
Babi hutan Hatalla
Kanai
Behas
Apang/Bapa
Kuman
Pehe
Takolok
Matei
Belum
Jela
Dumah
Babilem
Bahandang
Bawi
Hatue
Tatamba
Jihi
Manok
Bawoi
Aso
Riam
Balasut
Mihop
Sangit
Sinta
Sawe
Bue
Tambi
Arut
Besei
Laseh
Bahimang
Balecak
Sarawar
Pinding
Maneser
Enyoh
Bari
Mahamen
Bakei
Bawoi Pohotara
Botoi
Bojah
Amai
Kumai
Poros
Kuhung
Matoi
Borum
Jora
Rombut
Mitom
Mangan
Bawi
Bakang
Tawas
Johi
Manuk
Bawui(urak)
Asu
Kiham (gobong)
Barasut
Ngorih
Basingi
Sita
Aruh
Tatu
Tatu
Arut
Bahosoi
Saoh
Baringin
Taringa
Sambuk
Taringa
Nosot
Onyuh
Bari
Mia
Bakai
Bawoi
Alatala
Wantung
Weah
Ambah
Kuman
Mahanang
Ulu
Matei
Welum
Lela
Hawi’
Maintem
Mariang
Wawei
Upu
Tatamba
Ari’
Manu
Wawui
Antahu
Riam
Malaing
Ngu’ut
Sangit
Sita
Darangan
Kakah
Itak
Jukung
Dayung
Lantai
Batan
Sakah
Salawar
Silu’
Iselem
Niui
Nahi
Amangan
Warik
Babi
Sumber: Riwut, (1958)
Karakteristik Kebudayaan Dayak
Pembagian kelompok suku Dayak di Kalimantan berdasarkan pada kesamaan hukum adat, bahasa, ritus kematian, jalur sungai, maupun kriteria lain, membuktikan adanya keragaman yang alami dan perbedaan yang natural dari pribumi asli pulau ini (Widjono, 1998). Menurut Widjono (1998) terdapat karakteristik yang sifatnya khas yang memperlihatkan kesamaan kebudayaan di antara semua suku Dayak di Kalimantan yang berbeda hanyalah istilah lokalnya saja. Riwut (1958) dan Ukur (1991 dalam Widjono 1998) berdasarkan hasil temuannya mengatakan bahwa ciri pokok kebudayaan Dayak meliputi: (1) rumah panjang; (2) senjata khas; (3) anyam-anyaman; (4) tembikar; (5) siastem perladangan; (6) kedudukan perempuan dalam masyarakat; (7) seni tari.
Karakteristik kebudayaan Dayak sebagaimana yang dikemukakan oleh Ukur tersebut secara rinci dapat di uraikan sebagai berikut:
Rumah Panjang.
Rumah panjang yang merupakan rangkaian tempat tinggal yang bersambung telah dikenal semua suku Dayak, terkecuali suku Dayak Punan yang hidup mengembara, pada mulanya berdiam dalam kebersamaan hidup secara komunal di rumah panjang, yang lazim disebut Laou, Lamin, Betang, dan Lewu Hante.
Persepsi suku Dayak tentang rumah panjang tercakup dalam minimal empat aspek penting dari rumah panjang itu sendiri yaitu aspek penghunian, aspek hukum dan peradilan, aspek ekonomi, dan aspek perlindungan dan keamanan. Tidak berlebihan bila rumah panjang bagi suku Dayak merupakan “centre for Dayak creation, art and inspiration”. Lebih dari itu, rumah panjang merupakan wujud konkrit dari solidaritas sosial budaya suku Dayak di masa lampau, bahkan menurut Layang dan Kanyan (1994) bahwa rumah panjang merupakan pusat kebudayaan Dayak, karena hampir seluruh kegiatan mereka berlangsung di sana.
Senjata Khas
Senjata khas yang di miliki suku Dayak di Kalimantan yang tidak di miliki oleh suku lainnya adalah mandau dan sumpit. Senjata khas yang disebut mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa berbetuk pipih panjang seperti parang berujung runcing menyerupai paruh burung yang bagian atasnya berlekuk datar. Pada sisi mata di asah tajam sedang sisi atasnya sedikit tebal dan tumpul. Kebanyakan hulu mandau terbuat dari tanduk rusa diukir berbentuk kepala burung dengan berbagai motif seperti kepala naga, paruh burung, pilin dan kait. Sarung mandau terbuat dari lempengan kayu tipis, bagian atasnya dilapisi tulang berbentuk gelang, bagian bawah dililit dengan anyaman rotan.
Demikian juga senjata khas yang disebut sumpit yaitu jenis senjata tiup yang dalamnya diisi dengan damak yang terbuat dari bambu yang diraut kecil dan tajam yang ujungnya diberi kayu gabus sebagai keseimbangan dari peluru sumpit. Kekuatan jarak tiup sumpit biasanya mencapai 30-50 meter. Sumpit terbuat dari kayu keras berbentuk bulat panjang menyerupai tongkat yang sekaligus merupakan gagang tombak dengan lubang laras sebesar jari kelilingking yang tembus dari ujung ke ujung. Pada ujung sumpit di lengkapi dengan mata tombak terbuat dari besi berbentuk pipih berujung lancip yang menempel diikat dengan lilitan rotan.
Di samping kedua jenis senjata itu masih terdapat satu peralatan yang disebut telabang atau perisai. Perisai ini terbuat dari kayu gabus dengan bentuk segi enam memanjang, keseluruhan bidang depannya beragam hias topeng (hudoq), lidah api dan pilin berganda.
Anyam-anyaman
Kerajinan tradisional dari orang Dayak berupa anyam-anyaman yang terbuat dari bahan baku rotan, terdapat di semua suku Dayak dengan pelbagai versi. Hal yang tampak khas terdapat dalam dua bentuk yaitu anyam tikar dengan aneka macam motif hias dan sejenis keranjang bertali yang lazim disebut anjat, kiang, berangka dan sebagainya.
Tembikar
Tembikar konon katanya berasal dari Cina, seperti bejana, tempayan, belanga, piring dan mangkok sejak ribuan tahun lalu merupakan bagian dari tradisi kehidupan suku Dayak di Kalimantan. Bahkan sebagian besar dari barang tersebut, terutama tempayan dan guci tidak hanya memiliki nilai ekonomis, melainkan juga memiliki nilai sosio religius yang difungsikan sebagai mahar (mas kawin) dan sarana pelbagai upacara adat, juga untuk menyimpan tulang-tulang leluhur serta sebagai lambang status sosial seseorang.
Sistem Perladangan
Sistem perladangan dilakukan dengan cara berotasi atau bergilir, merupakan budaya khas semua suku Dayak. Sistem perladangan semacam itu mempunyai kearifan dan pengetahuan tersendiri, dalam hal pemeliharaan keseimbangan lingkungan.
Namun demikian, sistem perladangan semacam ini sering dipecundangi, dituduh tidak produktif dan merusak hutan. Suatu vonis yang harus diluruskan sebab banyak penelitian telah membuktikan salah satu diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Dove (1988) terhadap suku Kantu di Kalimantan Barat yang menyatakan sistem perladangan suku Dayak tidak menyebabkan kerusakan hutan atau lingkungan.
Kedudukan Perempuan dalam Masyarakat
Sistem geneologis dalam masyarakat Dayak adalah parental, bahwa garis keturunan ayah dan ibu dianggap sama. Hal itu berbeda dengan sistem patrilineal (garis keturunan ayah atauy lelaki) ataupun sistem matrilineal (garis keturunan ibu atau perempuan). Dalam struktur masyarakat Dayak, pada khakikatnya kaum perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki baik dalam kehidupan sosial dan kehidupan religius. Hal itu tampak jelas dalam peranan perempuan di pelbagai upacara adat.
Seni Tari
Dalam masyarakat Dayak, tarian dilaksanakan selalu dalam konteks ritual dan serimonial. Namun ada juga tarian yang sifatnya untuk kepentingan umum. Tarian Dayak pada hakikatnya merupakan selebrasi kehidupan. Ragam tarian Dayak menunjukkan identitas khas dari suku Dayak.
Karakteristik atau ciri-ciri pokok kebudayaan Dayak sebagaimana yang dikemukakan oleh Ukur tersebut, menurut Arman (1994) makin lama makin melemah. Rumah panjang yang ada sudah semakin tua dan punah, sedangkan rumah-rumah baru diperkampungan orang Dayak sudah berbentuk rumah individual. Mandau dan sumpit sudah semakin langka karena sudah dibeli oleh turis manca negera dan turis domestik. Mandau bikinan baru tidak seindah mandau bikinan dulu. Sumpitpun mengalami nasib yang sama dengan mandau, yang tinggal hanya satu dua. Tembikar dulu dibawa ke Kalimantan oleh pedagang Cina dalam tukar menukar produk dengan penduduk asli, kini mereka lebih suka membawa containers dari seng atau plastik, karena lebih ringan untuk di bawa, dan orang Dayak sendiri tidak berkeberatan menerimanya.
Sementara itu, sistem perladangan orang Dayak juga sudah mulai berubah, karena hutan untuk ditebang dan dibakar juga semakin sempit. Sistem perladangan yang dulu masih sustainable kini menurun produktivitasnya, karena masa bera yang semakin pendek dan persyaratan-persyaratan lain yang tidak mungkin dipenuhi lagi. Demikian juga dengan seni tari tradisional di manapun juga, tidak terkecuali seni Dayak, sedang mengalami perubahan karena generasi sekarang banyak yang tidak menyukai lagi, sedangkan generasi tua sebagai pewaris sudah banyak yang meninggal dunia.
Berdasarkan karakteristik atau ciri pokok kebudayaan Dayak, seperti telah dikemukakan oleh Ukur tersebut yang oleh Arman keberadaannya sudah semakin lama makin melemah, paling tidak dapat memberi suatu gambaran bahwa orang Dayak, walaupun diantara mereka terdapat banyak sub-sub suku yang masing-masing memiliki perbedaan, namun masih memiliki kesamaan unsur-unsur budaya.
Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian Muslim dan Layang (1994) terhadap orang Dayak di Kalimantan Barat menemukan bahwa diantara orang Dayak banyak persamaan dalam seni budaya terutama dalam hal:
1. Seni Tari: (1) orang Kayan, Punan, Bukat dan Oheng (Peneheng) mempunyai alat musik sape’ dan tarian serta motif busana yang sangat mirip; (2) orang Iban, Kantuk, Muwalang, Seberuang, Tabun di Ketungai desa Lebang Kapuas, orang Lino di Melawi dan Bugao, dalam memukul gong, tawak, gendang, engkerumong (gamelan kecil), kemudian mereka menari, akan terkesan bahwa bunyi instrumen, gaya tari, dan motif busana mereka ada kesamaan; (3) orang Banuaka’ Taman di Banua’ Sio, Mandalam, Kapuas dengan Banuaka’ Kalis, Paniung, Sabintang, dan di Alau, Apalin, Nanga Nyabo, Sunge Ulo, dan di Tamambalo, Tamao dan Labiyan dalam memukul gong, tawak, kebang/bobondi dan kakalentang/tatabo (gamelan kecil), kemudian dalam menari gaya dan motif busana mereka terkesan ada kesamaan; (4) orang Jangkang, Ribun, Pandu, Pompang di Desa Meliau, Tebang dan orang Balai Batang Tarang sama dalam memukul gong, tawak, gaya tarian dan motif busana; (5) orang Keriu, Jeka, Biak Laur, dan Simpang di Kabupaten Ketapang memiliki pukulan alat musik gong yang persis sama satu sama lain, dan dengan demikian juga mempunyai gerak tarian yang persis sama satu sama lain; (6) orang Kanayatn di manyuke dan Lara, serta Jagoi dalam membunyikan alat musik tradisional seperti gong, tawak (dau) dan kemudian mereka menari terkesan bahwa baik bunyi dau atau gaya tarian mereka ada kesamaan; (7) suku Dayak di Kabupaten Ketapang yang bermukim di di selatan sungai Pawan memiliki alat-alat musik yang sejenis, begitu pula bunyi tabuhan dan gerak tariannya.
2. Busana Tradisional: (1) kelompok Dayak Kayan, Iban dan Banuaka’ untuk pakaian laki-laki mempunyai kesamaan yaitu berupa cawat (sirat, kainampura), rompi (gagung) dan topi (kambu); (2) kelompok Ud-Danum, Kaninjal, Undau, Kubin mempunyai kesamaan dalam busana dan senjata perang/berburu serta beberapa peralatan rumah tangga.
3. Ukir-ukiran: (1) Dayak Banuaka’ terkesan adanya kesamaan dengan kelompok Kayan dan Iban dalam bentuk dekoratif walaupun pada kelompon Kayan lebih menonjol motif akar atau pakis, pada Iban lebih menonjol motif daun-daun dan Banuaka’ merupakan gabungan motif akar atau pakis dan daun-daun; (2) Dayak Ut-Danum, Kaninjal, Undau, Kubin, Randu terkesan ada kesamaan dalam berbagai motif ukiran; (3) ukiran Dayak Jangkang, Ribun, banyak persamaan dengan Mahap, Mentuka, Kerabat Bedayuh Manyuke, Kanayant, Lara, Jagoi, bakati’ , suku Dayak Kayung Jelai dan Siring (Simpang); (4) Ukiran Kanayant banyak persamaan dengan Manyuke Lara dan Bakati’ serta Kayung Jelai di Kabupaten Ketapang.
4. Bahasa, persamaan linguistik sangat jelas pada: (1) Dayak Kayan dengan Punan dan Bukat; (2) Dayak Banuaka’ di Banua Sio, Mandalam, Kapuas dengan Kalis, dan Paniung, Sebintang, Alau, Apalin Nyabo, Nanga Nyabo, Sunge Ulo dengan Dayak Taman, Balo, Tamao serta Labiyan; (3) Dayak Suruk dengan Mamayan dan Suhaid; (4) Dayak Iban dengan Kantuk, Seberuang, Muwalang, Ketungau, Sebaruk dan Desa; (5) Dayak Kaninjal dengan Undau, kubin, dan Linau; (6) Dayak Jangkang dengan Ribun, Pandu, Mahap, Mantuka, Kerabat, Pompang dan Simpang; (7) Dayak Banyuke, Kanayant, Bakati, Lara dan Jagoi; (8) Dayak Jelai dengan Kendawangan, Pasaguan, Kayung di Kabupaten Ketapang.
Adanya kesamaan unsur-unsur budaya yang dimiliki oleh orang Dayak di Kalimantan tersebut, menurut Muslim dan Layang (1994), hal ini karena sejak dari nenek moyang mereka sudah terikat dalam kemasyarakatan adat (adattrecht gemeenschap) sebagai persekutuan adat, juga pada mulanya mereka merupakan satu kekarabatan yang terbentuk berdasarkan geneologis, baik dari pihak ayah maupun pihak ibu, kemudian berkembang menjadi persekutuan hukum adat yang bersifat geneologis teritorial dan bahkan sebagian sudah bersifat teritorial karena keterikatan mereka dalam suatu daerah yang disebut benua (kalbar), lewu (Katingan Kalteng), leppo (Kenyah Kalteng) dan Benuag (Kaltim).
PENUTUP
Suku Dayak sebagaimana suku bangsa lainnya, memiliki adat-istiadat dan hukum adat tersendiri. Ketentuan-ketentuan yang merupakan pedoman hidup bagi warganya, ada yang mengandung sanksi, dan ada yang tidak. Yang tidak mengandung mengandung sanksi adalah kebiasaan atau adat istiadat, namun yang melanggar akan dicemooh, karena adat merupakan pencerminan kepribadian dan penjelmaan dari jiwa mereka secara turun temurun. Sedangkan yang mengandung sanksi adalah hukum yang terdiri dari norma-norma kesopanan, kesusilaan, ketertiban sampai pada norma-norma keyakinan atau kepercayaan yang dihubungkan dengan alam gaib dan sang pencipta. Norma-norma itu disebut hukum adat.
Sistem kekarabatan pada orang Dayak pada adalah bersifat bilateral atau parental. Anak laki-laki maupun perempuan mendapat perlakuan yang sama, begitu juga dalam pembagian warisan pada dasarnya juga tidak ada perbedaan, artinya tidak selamanya anak-laki mendapat lebih banyak dari anak perempuan, kecuali yang tetap tinggal dan memelihara orang tua hingga meninggal, maka mendapat bagian yang lebih bahkan kadang seluruhnya. Demikian juga tempat tinggal setelah menikah pada orang Dayak lebih bersifat bebas memilih dan tidak terikat. Sistem perkawinan pada dasarnya menganut sistem perkawinan eleotherogami dan tidak mengenal larangan atau keharusan sebagaimana pada sistem endogami atau eksogami, kecuali karena hubungan darah terdekat baik dalam keturunan garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketujuh.
Mata pencaharian orang Dayak selalu ada hubungannya dengan hutan, misalnya berburu, berladang, berkebun mereka pergi ke hutan. Mata pencaharian yang berorientasi pada hutan tersebut telah berlangsung selama berabad-abad, dan ternyata berpengaruh terhadap kultur orang Dayak. Misalnya rumah panjang yang masih asli seluruhnya dibuat dari kayu yang diambil dari hutan, demikian juga halnya dengan sampan-sampan kecil yang dibuat dengan teknologi sederhana yaitu dengan cara mengeruk batang pohon, peralatan kerja seperti kapak, beliung, parang, bakul, tikar, mandau, perisai dan sumpit semuanya (paling tidak sebagian) bahan-bahannya berasal dari hutan.
Kesenian seperti seni tari, seni suara, seni ukir, seni lukis orang Dayak merupakan salah satu aspek dari kebudayaan Dayak yang memiliki bentuk dan ciri-ciri khas pada tiap-tiap sub suku Dayak. Walaupun demikian, pada hampir semua sub suku Dayak memiliki ciri-ciri dasar yang sama atau mirip, hal ini menandakan bahwa terdapat hubungan kekarabatan pada masa lampau.
Hutan bagi masyarakat Dayak merupakan “dunia” atau kehidupan mereka. Kedudukan dan peranan hutan semacam ini telah mendorong petani Dayak memanfaatkan hutan di sekitar mereka dn sekaligus menumbuhkan komitmen untuk menjaga kelestariannya demi keberadaan dan kelanjutan hidup hutan itu sendiri, kehidupan mereka sebagai individu dan kelompok, dan juga demi hubungan baik mereka dengan alam dan Tuhan mereka. Untuk melaksanakan tugas dan komitmen tersebut, masyarakat Dayak dibekali dengan mekanisme alamiah dan nilai budaya yang mendukung, pemanfaatan hutan demi kelanjutan hidup mereka dan pelestarian alam.
DAFTAR PUSTAKA
Almutahar, Hasan. 1995. Respon Petani Dayak Kandayan Terhadap Teknologi Pertanian, Bandung: Tesis Magister, Program Pascasarjana UNPAD.
Alqadrie, Syarif. I. 1987. Cultural Differences and Social Life Among Three Ethnic Groups in West Kalimantan Case, Tesis M.Sc, Lexington, Kentucky: College of Agriculture, Agricultural and Rural Sociologi, University of Kentucky.
----------------------. 1990. Ethnicity and Social Change in Dyaknese Society of West Kalimantan, Indonesia, Disertasi Ph.D, Lexington, Ky: Departement of Sociology, Universitu of Kentucky.
---------------------. 1991. Kepercayaan Nenek Moyang Dalam Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat dan Hubungannya dengan Kehidupan Sosial Ekonomi dan Budaya Mereka, Dalam Suara Almamater Nomor 3 Juli, Pontinak: Universitas Tanjungpura.
--------------------------. 1994 Mesianisme Dalam Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat: Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grashindo Utama.
Arman, Syamsuni. 1994. Analisa Budaya Dayak, Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grashindo Utama.
Coomans, Mikhail. 1987. Manusia Dayak: Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan, Jakarta: Gramedia.
Dakung, Sugiarto. 1986. Isi dan Kelengkapan Rumah Tangga Tradisional Daerah Kalimantan Barat, Jakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Dove, Michael R. 1985. Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
--------------------.1988. Sistem Perladangan Di Indonesia: Studi kasus Di Kalimantan Barat, Yogyakarta: Gajahmada University Press.
Garna, Judistira K. 1996. Ilmu-Ilmu Sosial, Dasar-Konsep-Posisi, Bandung: Program Pascasarjana Unpad.
Kartawinata, Ade Makmur. 1993. Masyarakat Punan di Kalimantan Barat, Dalam: Koentjaraningrat (Ed), Masyarakat Terasing di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Mering, Ngo. 1989. Antara Pemilik dan Pemanfaat Kisah Penguasaan Lahan Orang Kayan di Kalimantan Barat, Dalam Prisma Nomor 4 Tahun XVIII, Jakarta: LP3ES.
Mudiyono. 1990. Perubahan Sosial Budaya dan Ekologi Peladang berpindah:Dalam Suara Almamater, No II Tahun V Nopember, Pontianak: Universitas Tanjungpura.
----------------. 1995. Kearifan Tradisional Masyarakat Dayak Dalam Pemeliharaan Lingkungan Hidup di Daerah Kalimantan Barat, Pontianak: Fisip Untan.
Mubiyarto. 1991. Kajian Sosial Ekonomi Desa-Desa Perbatasan di Kalimantan Timur, Yogykarta: Aditya Media.
Muslim, Irine. A dan Layang, S. Yakobus E. Frans. 1994. Makna dan Kekuatan Simbol Adat Pada Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat di Tinjau dari Pengelompokan Budaya, Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grashindo Utama.
Riwut, Tjilik. 1958. Kalimantan Memanggil, Jakarta: Penerbit Endang.
Sapardi, Antonius. 1992. Pengaruh Perkebunan Inti Rakyat Terhadap Rumah Tangga Petani di Kecamatan Parindu, Tesis, Program Pascasarjana Universitas Indonesia.
---------------------. 1994. Ilmu Pengetahuan Masyarakat Asli Tentang Ladang: Suatu Studi Pada Masyarakat Ribun dan Pandu di Kecamatan Parindu Sanggau Kalimantan Barat, Dalam Suara Almamter Nomor VI Tahun XI, September, Pontianak: Universitas Tanjungpura.
Sellato, Bernard. 1989. Naga dan Burung Enggang, Hornbill and Dragon, Aquitaire Indonesia: ELF.
Seli, Seselia. 1996. Struktur, Fungsi, Dan Nilai Budaya Dalam Cerita Rakyat Dayak Kanayant Kabupaten Pontianak, Bandung: Tesis Magister, Program Pascasarjana IKIP.
Soedjito, Herwasono. 1999. Masyarakat Dayak, Peladang Berpindah dan Pelestarian Plasma Nuftah, Dalam Kusnaka Adimihardja (Ed), Petani, Merajut Tradisi Era Globalisasi, Pendayagunaan Sistem Pengetahuan Lokal Dalam Pembangunan, Bandung: Humaniora Utama Press.
Sarmanto. 1982. Perladangan Berpindah, Studi Tinjauan dari Aspek Sosial Budaya di Kalimantan Barat, Pontianak: Fisip Universitas Tanjungpura.
Sukanda, Al. Yan. 1994. Tradisi Musikal Dalam Kebudayaan Dayak, Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grashindo Utama.
Tim Penelitian Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan kebudayaan Propinsi Kalbar. 1988. Kebudayaan, Agama, dan Adat Kebiasaan Orang-Orang Dayak di Kalimantan Barat, Dalam Media Informasi Nomor 5 Juli, Pontianak: Kanwil Depdikbud Propinsi Kalbar.
Topin, Benedict. 1996. Kaamatan, Festival Pasca Panen Rakyat Sabah, Dalam: Stepanus Djuweng (Ed), Manusia Dayak, Orang Kecil yang Terperangkap Modernisasi, Pontianak: Institute of Dayakology Research and Development (IDRD).
Ukur, Frodlin. 1971. Tantang Djawab Suku Dayak, Jakarta: Gunung Mulia.
-------------------. 1991. Kebudayaan Dayak, Dalam Kalimantan Review Nomor 02 Tahun I Juli-Desember, Pontianak: LP3S-IDRD.
------------------. 1994. Makna Religi dari Alam Sekitar Dalam Kebudayaan Dayak, Dalam Paulus Florus (Ed), Kebudayaan Dayak: Aktualisasi Dan Transformasi, Jakarta: Grashindo Utama.
Umberan, Musni. 1994. Wujud, Arti dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli di Kalimantan Barat, Pontianak: Proyek Pengkajian dan Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Daerah, Depdikbud Propinsi Kalimantan Barat.
Widjono, Roedi Haryo. 1995. Simpakng Munan Dayak Benuag, Suatu Kearifan Tradisional Pengelolaan Sumber Daya Hutan, Dalam: Kalimantan Review Nomor 13 Tahun IV, Oktober-Desember, Pontianak:LP3S-Institute of Dayakology Research and Development (IDRD).
-------------------------. 1998. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Grasindo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar