Arsip Saya

Rabu, 17 November 2010

Panca Sila Sebagai sarana Pencerdasan Kehidupan Bangsa

BAB   I   Latar Belakang
Philosophy dasar dari Pembukaan UUD 45

Bagi setiap negara, kebutuhan untuk mencerdasakan kehidupan masyarakatnya adalah suatu hal yang sangat krusial. Keinginan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini biasanya dinyatakan secara eksplisit dalam undang-undang atau bahkan Undang-undang Dasarnya. Dengan adanya pernyataan ini, sudah semestinya para penyelenggara pemerintahan memiliki perhatian khusus untuk mencapai tujuan ini.

Di Indonesia, keinginan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa ini dinyatakan oleh para pendiri bangsa di dalam Undang-undang Dasar 1945 ( UUD 45) . Sebagaimana dalam pembukaan UUD 45, alinea ke empat dinyatakan  :

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. ( UUD 45, Pembukaan – Alinea 4)


Dalam alinea tersebut dinyatakan bahwa mencerdaskan kehidupan bangsa adalah salah satu tugas pokok utama dari Pemerintah Negara Indonesia. Sedangkan yang menjadi Dasar Negara Indonesia adalah Pancasila (Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia ).

Peran pendidikan sebagai salah satu faktor utama dalam mencerdaskan kehidupan bangsa juga diakui oleh para pendiri bangsa dengan memasukkan pendidikan sebagai salah satu pasal dalam UUD 45. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 31 UUD 45 tentang Pendidikan :

(1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional, yang diatur dengan undang-undang. ( UUD 45, Pasal 31 )


Dalam amandemen UUD 45revisi keempat, penekanan terhadap pendidikan ini lebih dinyatakan secara eksplisit agar dapat ditafsirkan secara lebih universal dan bisa dicapai secara lebih rasional.  Adapun dalam perubahan tersebut, Pasal 31 menjadi berisi :

(1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
(2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah  mengusahakan dan  menyelenggarakan  satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia. ( UUD 45, Pasal 31 – Revisi 4).


Terlihat secara lebih eksplisit kemauan dasar dari para  penyelenggara negara untuk meningkatkan kecerdasan bangsa melalui pendidikan sebagaimana dalam ayat 3 dinyatakan : “Pemerintah  mengusahakan dan  menyelenggarakan  satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Dalam rangka mencapai tujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, pemerintah akan berusaha untuk menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional – yang juga meningkatkan keimanan dan ketakwaan, serta akhlak mulia.

Dalam UUD 45 dinyatakan bahwa penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi bukanlah satu-satunya atau tujuan utama dari pendidikan. Tujuan lain yang tidak kalah pentingnya adalah peningkatan keimanan dan ketakwaan, serta pencapaian akhlak yang mulia. Tujuan-tujuan inilah yang hendak dicapai dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Lebih jauh dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pemerintah mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (diantaranya ) ;
a. bahwa pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial;
 b.  bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang;
c.  bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan;
d.  bahwa Undang-undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional tidak memadai lagi dan perlu diganti serta perlu disempurnakan agar sesuai dengan amanat perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 

Pemerintah memiliki keinginan yang sangat mendasar untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang. Pemerintah juga menyadari bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

BAB   II   Permasalahan
Pendidikan di Indonesia yang Masih Relatif Tertinggal

Tidak dapat dipungkiri bahwa mutu pendidikan di Indonesia secara umum masih relatif lebih rendah, bahkan dibandingkan dengan saudara-saudara serumpun kita seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand. Selain mutu yang tertinggal, moral sebagian dari para calon penerus bangsa-pun masih sangat rendah, hal ini ditandai dengan banyak permasalahan yang berkaitan langsung dengan siswa seperti tawuran antar pelajar yang sangat marak, pornografi dikalangan pelajar, hingga pembelian Ijazah palsu oleh para pelajar / mahasiswa.

Kenyataan tingkat kelulusan yang cukup rendah dibeberapa sekolah pada UAN yang lalu menunjukkan rendahnya mutu siswa ( mungkin juga guru dan sekolahnya ? ) di banyak sekolah. Bahkan ada beberapa sekolah di daerah yang ketidak-lulusannya mencapai 100%. Hebohnya peredaran VCD “Bandung Lautan Api” dari mahasiswa Itennas, dan beberapa versi VCD “Anak SMA” adalah contoh dari kebobrokan moral dan kebodohan kita, serta pemanfaatan teknologi yang salah.

Selain itu, ditingkat yang lebih tinggi juga terjadi dekadensi moral yang cukup menyolok. Misalnya Pembelian ( atau Pemberian ) gelar palsu bagi para tokoh masyarakat, termasuk pejabat pemerintah, politisi, bahkan artis. Kasus jual beli gelar palsu yang belakangan mencuat mencerminkan potret masyarakat Indonesia yang masih menyukai budaya jalan pintas (short cut). Kondisi ini diperparah, dan berjalan pararel, dengan sikap masyarakat yang masih mendewa-dewakan gelar. ( Republika Online, 27 Agustus 2005).

Lembaga pemberi Gelar palsu itupun tumbuh dengan suburnya di Indonesia. Sebagaimana dinyatakan oleh Mendiknas Bambang Sudibyo, di Indonesia ada sekitar 50 lebaga pemberi gelar palsu tersebut ( SuaraPembaruan Online, 26 Agustus 2005 ). Pada saat salah satu lembaga tersebut terbongkar, terlihat ada banyak sekali orang-orang yang semestinya menjadi panutan ternyata ikut memiliki gelar tersebut, termasuk beberapa orang petinggi negara. Dengan gampang bisa memperleh gelar MBA, MSc, Dr atau bahkan Professor.

Beberapa ahli dan pengamat pendidikan bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa pendidikan nasional telah gagal. Misalnya Khaerudin Kurniawan, Dosen FPBS UPI menyatakan :
Kegagalan pendidikan nasional itu disebabkan oleh penerapan konsep pendidikan yang telah mengabaikan pendidikan watak dan kemampuan bernalar, atau dengan kata lain telah mengabaikan pendidikan etika. Pendidikan seharusnya tidak saja mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi diarahkan untuk membangun watak bangsa (character building) yang mampu memadukan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk suatu perbuatan. Sehingga, anak didik akan cenderung untuk berbuat baik, berakhlak mulia, disertai kemampuan untuk berinovasi, kreatif, produktif, dan mandiri. ( Pikiran Rakyat, 23 Agustus 2005 ).
Pernyataan lain dari seorang praktisi pendidikan Dr. Anita Lie mengenai kegagalan dalam sistem pendidikan nasional kita ;
Berbagai fenomena yang terjadi dalam masyarakat dan bangsa membuat kita harus mengakui bahwa sekolah-sekolah kita telah gagal mencapai tujuan pendidikan nasional seperti yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa. Kegagalan yang terjadi di banyak sekolah formal seharusnya menuntut Panitia Kerja RUU bukan hanya bekerja keras, melainkan juga secara cerdas memikirkan strategi-strategi untuk mengatasi berbagai hambatan dan halangan yang dihadapi sekolah dan para praktisi pendidikan dalam mencapai tujuan pendidikan nasional. Bukannya malah menyelewengkan tujuan pendidikan nasional! ( Kompas, 24 Mei 2003 )
Dalam salah satu website yang perduli pendidikan, seorang narator menyatakan bahwa dari segi pendidikan sebenarnya Indonesia masih belum merdeka. Kemerdekaan yang 60 tahun ini belum mencapai bidang pendidikan. Sebagaimana dinyatakan dalam site yang beralamat di www.timpakul.or.id pada tanggal 17 Agustus 2005 :
Kecerdasan adalah sebuah jalan menuju kemerdekaan sejatinya bagi negeri ini. Pendidikan adalah jalan menuju pembebasan. Pembodohan akan terus berlangsung, bilamana penghuni negeri ini masih belum tersadarkan bahwa saat ini Indonesia sedang berada dalam belenggu penjajahan, dengan ditutupnya jalan menuju kecerdasan di negeri ini. Pada 60 tahun diproklamirkan kemerdekaan Indonesia, haruskah Indonesia terus terjajah? ( timpakul.or.id, 17 Agustus 2005 )

Dari contoh-contoh diatas, dapatlah kita lihat bahwa pendidikan kita selain masih tertinggal didalam penguasaan Iptek, juga rendah didalam pendidikan moral. Keadaan ini dapat menghambat tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana yang terdapat pada UUD 45.


BAB  III  Landasan Teori
Peningkatan Kecerdasan

Teori Pendidikan

Pendidikan, sebagaimana bidang ilmu lainnya, selain memiliki segi praktis juga memiliki segi teoritis atau keilmuan. Keilmuan pendidikan, kurikulum-pengajaran, dan bidang-bidang lainnya dibentuk oleh teori-teori dalam bidang pendidikan ( Nana, 2005 ).

Pada dasarnya Teori tidak praktis. Beauchamp mengistilahkannya sebagai “impractical” ( Beauchamp, 1975 ). Dunia praktis terbentuk dari kumpulan peristiwa-peristiwa khusus, sedangkan dunia Teori berkembang dari generalisasi, hukum, aksioma, dan teorema yang menjelaskan peristiwa-peristiwa khusus dan hubungan antar peristiwa tersebut. Adanya perbedaan tersebut tidak menghilangkan hubungan antar keduanya. Teori menjelaskan hal-hal yang sifatnya praktis operasional, sehingga para praktisi punya banyak pilihan untuk berbuat. Teori hanya menjelaskan, tidak memberikan tindakan atau solusi ( Nana, 2005 ).

Tugas dari teori-teori pendidikan adalah memberikan pedoman dalam praktik Pendidikan ( Gowin, 1963 ). Dalam pelaksanaannya, praktisi dan peneliti pendidikan harus menyesuaikan dengan konteks dan keadaan yang berlaku. Teori-teori dalam bidang pendidikan memusatkan kajiannya pada interaksi antar manusia  yaitu : pendidik, peserta didik, serta nara sumber lainnya, dalam rangka mengoptimalkan perkembangan generasi muda, untuk mencapai tujuan-tujuan yang ideal/filosofis tetapi realistik melalui kajian bahan-materi berupa ilmu dan teknologi yang berlangsung dalam lingkungan yang ada disekitarnya ( Nana, 2005 ).

Teori Kurikulum dan Pembelajaran

Didalam teori pendidikan, tercakup juga Teori Kurikulum dan Pembelajaran. Praktik Kurikulum dikembangkan dari teori kurikulum, dimana pengembangan teori kurikulum sendiri lebih luas dari praktik kurikulum. Beauchamp mengartkan Teori Kurikulum sebagai “ seperangkat pernyataan yang saling terkait, yang memberikan makna terhadap kurikulum sekolah, dengan cara menegaskan hubungan diantara unsur-unsurnya, memberikan pegangan bagaimana pengembangan, penggunaan dan evaluasinya.

Pada dasarnya ada tiga hal kunci berkenaan dengan pembahasan teori kurikulum ( Beauchamp, 1975 ). Pertama, kurikulum sebagai fenomena substantif, atau sebagai rencana pendidikan peserta didik selama belajar disekolah. Kedua, kurikulum sebagai sistem, yang merupakan bagian atau sub sistem dari sistem persekolahan. Kurikulum sebagai sub sistem mencakup pengorganisasian personil, prosedur pengembangan, penerapan, penilaian, dan penyempurnaan kurikulum. Ketiga, kurikulum sebagai suatu bidang studi, merupakan garapan para ahli, guru besar, dan mahasiswa jurusan pengembangan kurikulum.

Teori yang dianut dalam pelaksanaan kurikulum dan pembelajaran biasanya tidak hanya satu teori, tetapi perpaduan dari beberapa teori. Dalam Kurikulum 2004, pendekatan yang digunakan adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi. Kurikulum ini berpangkal dari konsep Teknologi Pendidikan, atau Teknologi Instruksional dan sistem Instruksional yang banyak digunakan dalam pendidikan kejuruan atau pelatihan-pelatihan. Kompetensi dalam pendidikan kejuruan atau pelatihan adalah kompetensi kerja atau vokasional. Di Indonesia, kurikulum ini diterapkan dalam pendidikan umum yang bersifat akademis, sehingga dalam penerapannya dipadukan dengan pendekatan Kurikulu Berbasis Ilmu atau Pendidikan Subjek Akademis ( Nana, 2005 ).

Teori Inteligensi Ganda dari Howard Gardner.
Dalam teori inteligensi ganda ( Multiple Intelligence ), Gardner berteori bahwa kecerdasan pada hakikatnya tidak hanya satu macam (apalagi hanya skolastik saja), melainkan sedikitnya ada 8 macam, yaitu :
  1. Kecerdasan bahasa
  2. Kecerdasan ilmu pasti
  3. Kecerdasan ilmu alam
  4. Kecerdasan gerak (seperti pada penari dan olahragawan)
  5. Kecerdasan musik
  6. Kecerdasan untuk menganalisis diri sendiri (seperti pada Sigmund Freud)
  7. Kecerdasan antar pribadi (sehingga mudah bergaul)
  8. Kecerdasan ruang (pada pelukis, disainer, arsitek dsb.).

Bahkan akhir-akhir ini, dalam bukunya yang mutakhit, Gardner menambahkan 3 macam kecerdasan lagi, yaitu:
  1. Kecerdasan naturalist (seperti pada para pakar lingkungan)
  2. Kecerdasan spiritual (rohaniwan)
  3. Kecerdasan eksistensial (filsuf).
Memang Teori Gardner ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut, khususnya tentang metode pengukuran dari masing-masing jenis kecerdasan itu (yang dalam bidang IQ sudah sangat canggih) dan apakah jenis-jenis kecerdasan itu berhenti pada 8 atau 11 jenis saja, atau masih bisa bertambah lagi? Tetapi yang terpenting dari gagasan Gardner ini adalah bahwa ia mendefinsi ulang konsep tentang inteligensi (kecerdasan) sebagai: a biopsychological potrential to process information that can be activited in a cultural setting to solve problems or to create products that are of value in a culture. ( Sarlito Wirawan, dalam sarlito.net )
Dengan definisi tersebut, maka jelas konsepsi Gardner dalam menjawab tantangan posmo ("dari global menuju lokal"). Tidak ada lagi IQ tunggal yang universal dan karena inteligensi sangat terkait dengan budaya kita masing-masing, maka kita semua (baca: semua orang) mempunyai potensi untuk mencapai tingkat inteligensi tetentu pada bidangnya masing-masing dan di tempatnya masing-masing juga. Itulah sebabnya, jika semua jenis kecerdasan di seluruh dunia dikumpulkan, jumlahnya tidak terbatas pada 11, melainkan bisa ratusan. Seorang suku Indian di Amerika, misalnya bisa mempunyai kecerdasan tinggi untuk membaca jejak (termasuk dalam kecerdasan naturalist) yang tidak dimiliki oleh bangsa lain di dunia, seorang dalang wayang kulit mempunyai kecerdasan tinggi dalam bidang musik, gerak dan ruang yang tidak dimiliki oleh sutradara Holywood atau koreografer dari Broadway, sedangkan ibu-ibu di Manado mempunyai kecerdasan tinggi untuk mengolah sagu menjadi makanan yang lezat yang tidak ada pada chef Perancis sekalipun (di sini mungkin kita perlu menambahkan jenis kecerdasan memasak dalam daftarnya Gardner).
Masing-masing orang memiliki satu kemampuan inteligensi yang menonjol termasuk siswa dan guru. Guru bukan pusat pembelajaran sebagaimana teori pendidikan yang klasik. Dalam sistem inteligensi ganda, murid atau siswa merupakan pusat dari pendidikan. Bukan lagi murid yang harus menyesuaikan diri terhadap kemampuan inteligensi yang dimiliki guru dalam memberikan pelajaran. Tetapi guru yang menyesuaikan diri dengan kemampuan inteligensi masing-masing murid. Dengan kata lain, proses pembelajaran berjalan dua arah, baik siswa maupun guru. ( Paul Suparno, Teori Inteligensi Ganda, Teori Baru dalam Pendidikan ).
Phantoms in the Brain: Probing the Mysteries of the Human Mind
V.S. Ramachandran, M.D., Ph.D., dan Sandra Blakeslee dalam bukunya yang berjudul : Phantoms in the Brain: Probing the Mysteries of the Human Mind, yang diterbitkan oleh William Morrow tahun 1998 menguraikan beberapa kejadian yang berkenaan dengan otak. Beberapa bab cukup menarik untuk dimasukkan sebagai dasar pembahasan. Diantaranya adalah dapat dilihat pada bagian dibawah ini.

Di dalam bab “Chasing the Phantom,” Ramachandran menguraikan eksperimennya yang terbilang kreatif terhadap seorang pasiennya yang mengalami “Phantom limb phenomena”. Ramachandran memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pemahaman bagaimana otak merepresentasikan bagian tubuh. Dia menunjukkan bahwa “that the body image is a malleable internal construct and that perception extracts statistical correlations to create a temporarily useful model “.(p. 59). Dengan sedikit trik yang sederhana, Ramachandran dapat menunjukkan bahwa “body image” tidaklah terikat atau loyal ke satu bagian tubuh saja, tapi bisa saja terhubung ke “inanimate objects”. Ramachandran menganggap hal ini “may give us a handle on elusive psychological phenomena such as the empathy and love that you feel for a child or a spouse” (p. 61). Ini menjelaskan phenomena dari munculnya perasaan empati atau cinta kita terhadap anak atau pasangan kita. Mengenai ‘body image’ sendiri, Ramachandran menyatakan bahwa merely a shell that you’ve temporarily created for successfully passing on your genes to your offspring” (p. 62). Implikasi dari pernyataan ini adalah penemuan/pencapaian yang lebih jauh dalam hal psychoanalysis. Representasi fluktuasi yang cepat dari tubuh tidak kurang dari neurology hubungan object.

Dalam bukunya, Ramachandran menunjukkan banyak phenomena, seperti “foor fetishism”, dengan sensor “homuncular propinquity”. Dia menggambarkan dalam pengalaman neuropsychiatric yang luas, untuk menemukan ilustrasi. Misalnya seorang wanita dengan penyakit “phocomelia” yang merasakan adanya tangan phantom enam inci dibawah lengannya yang sudah tidak ada, sering mengunakan jari phantom nya untuk menghitung atau memecahkan masalah arithmetic ( p. 57). Ramachandran menyimpulkan bahwa “no learned dependence on sensory feedback” , bahwa feedback dari penggunaan bagian phantom tersebut tidaklah terlalu berpengaruh.

Didalam bab “The Zombie in the Brain” , Ramachandran menggunakan pendekatan yang disebut sebagai “ menyatukan problem dari kesatuan persepsi mengenai bola (sesuai contoh yang digunakannya ). Ada bagian di otak, dimana semua informasi ini disatukan, yang disebut oleh Ramachandran sebagai  “logically flawed assumptions about the visual process” (pp. 80–81). Didalam dunia olah raga, kita me-release zombie dari perkiraan kita mengenai jalur ( “ how – pathway “). Sebagai pembanding, pasien dengan kerusakan Parietal Bilateral, hanya bisa terfokus kepada “Apa“ saja, tanpa mengenal “Bagaimana“ nya. Pasien dengan disasosiasi antara “apa” dan “bagaimana” hanya bisa berinteraksi dengan sebagian dunia nyatanya tanpa perduli mengenai bentuk, lokasi, dan ukuran objeknya. Adanya “Multitude zombie inhabiting your brain” (p. 84), mengikuti “konsep diri manusia sebagai satu ‘Aku’ atau satu ‘diri’ memberikan ilusi yang sederhana terhadap diri kita. Ini juga membantu kita untuk menyederhanakan pengaturan kehidupan kita secara lebih efisien, serta membantu kita untuk berikteraksi dengan orang lain.

Dalam bab “The Secret Life of James Thurber”, dimana kebutaan akan membawa seseorang kedalam apa yang disebut sebagai “Charles Bonnet syndrome”, penulis menguraikan bahwa seseorang yang buta akan membentuk “visual hallucinations” untuk menggantikan realita yang hilang dari kehidupannya. Syndrome ini membantu kita untuk memahami bagaimana kita secara “neuromentally” melihat sesuatu. Bagaimana vision mengisi jarak untuk melihat sesuatu yang tidak terlihat, dan kenapa banyak diantara kita yang melihat UFO atau Malaikat. Kekurangan dalam stimulasi visual akan menyebabkan otak membentuk realita-nya sendiri tanpa batasan terhadap kreativitasnya. Dalam bahasa aslinya Ramachandran menyatakan “the lack of confirming visual stimulation allows the brain “to make up its own reality” with “apparently no limit to its creativity” (p. 112).

Selanjutnya dalam bab “Through the Looking Glass”, penulis kembali kepada bagaimana jalur dalam parietal lobe dan jalur apa dalam temporal lobe utuk menjelaskan hemineglect. Menurut Ramachandran, parietal bagian kanan bertindak sebagai bagian pencari cahaya yang mencakup juga bagian parietal kiri. Sedangkan bagian kiri disibukkan dengan bahasa, dan hanya memiliki sedikit saja fungsi untuk mencakup pencarian bagi parietal kanan. Kerusakan bagian parietal kiri bisa di cover oleh bagian kanan, tapi kerusakan bagian parietal kanan sangat sedikit sekali yang bisa di cover oleh bagian kiri parietal. Ramachandran mendemostrasikan dengan percobaan “mirror agnosia, or the looking glass syndrome” (p. 124): the patient believes objects reflected in
the mirror from the neglected side are real and inside the mirror. This may be a new test for right parietal lesions. The knowledge base of these patients becomes “twisted to ccommodate the strange new world they inhabit,” raising “philosophical questions about how sure we can be that our own grasp on reality is all that secure” (p. 126).

Dalam bab “The Sound of One Hand Clapping” mencakup juga anosognosia dan bertentangan dengan gambaran Freudian bahwa penolakan adalah pertahanan dengan gambaran neurogical bahwa penolakan adalah kensekuensi langsung dari Sindroma Negelct. Ramachandran melakukan penelitian mengenai hal ini selama lebih kurang 5 tahun. Dimana pada awalnya dia kurang tertarik pada pendapat Freud, tapi belakangan dia mengakui pemikiran Freud sebagai sesuatu yang genius.


Bab “The Unbearable Likeness of Being” penulis menyoroti masalah “misidentification
Syndromes” seperti  Capgras syndrome”, tidak terdapat kehilangan dari pengenalan wajah atau kemampuan menunjukkan emosi, tapi ada ketidakmampuan untuk menghubungkan keduanya. Cotard’s Syndrome terbentuk dari perkembangan Capgras Syndrome. Ada ketidakmampuan untuk melihat kearah yang tetap sebagaimana dalam Capgras. Dalam Fregoli Syndrome, pasien merasa melihat wajah yang sama terus-menerus, ini berhubungan dengan pengenalan dibagian Amygdala.

Didalam bab “God and the Limbic System,”, penulis mengarahkan kita mulai dari transcranial magnetic stimulation didalam wilayah otak kecil, yang menghasilkan pengalaman visual, hingga diskusi mengenai legitimasi agama yang dihasilkan oleh stimulasi bagian temporal lobe atau Limbic Seizure di dalam bagian yang disebut “the God module”. Dalam bagian ini Ramachandran juga menyimpulkan bahwa bagian kiri ( left angular gyrus ) Gyrus memiliki kepekaan dalam matematika, sedangkan bagian kanan ( right angular Gyrus ) Gyrus memiliki kepekaan dalam seni.

Dalam bab “The Woman Who Died Laughing,” penulis menolak pendapat Freud mengenai ide tertawa dan menguraikan tertawa sebagai pengaruh buruk dari alarm signal kesalahan sosial. Subtrate Neurological dari tertawa adalah kesakitan asymbolia yang muncul dari kerusakan Insular Cortical, dan memutuskannya dari Cingulate Gyrus.

Dalam bab  You Forgot to Deliver the Twin” dijelaskan mengenai dasar phisik dari  Pseudocyesis dan disimpulkan bahwa ketidak-bisa dibagi –an dari pikiran dan badan adalah kemajuan yang besar dalam Psychobabble.

Terakhir, dalam bab “Do Martians See Red?”, penulis berargumen mengenai ide dari penggunaan sendiri otak dan pemecahan inspeksi mengenai dunia adalah ilusi. Kita menciptakan sendiri relaita dari bagian-bagian, kita bisa melihat tapi tidak akurat dalam menjelaskan dunia.

Dalam kesimpulannya, Ramachandran membagi karakteristik manusia kedalam beberapa bagian seperti : embodied, passionate, executive, mnemonic, unified, vigilant, conceptual, and social.

BAB  III    Pembahasan
Peran Pancasila sebagai sarana dalam pencerdasan kehidupan bangsa

Sudah sejak merdeka, bahkan jauh sebelumnya, kita melakukan pembangunan. Memang banyak kemajuan. Tapi di hadapan kita terlihat pula kesenjangan fundamental antara yang kaya dan miskin. Banyak di antara kita yang serakah, hidup tidak bersih, tidak disiplin, dan tanpa malu-malu melakukan KKN dan perbuatan dursila lain. Etos kerja kita pun lemah. Sebagai bangsa yang konon menjunjung tinggi tata krama dan sopan-santun serta berbudi luhur, ada juga yang melakukan tindak kekerasan dan pembunuhan sadistis. 
 
Persoalan mendasar adalah rendahnya kualitas pendidikan. Dalam segi ini, Indonesia menempati urutan 111 dari 175 negara di dunia. Untuk tingkat Asia, Indonesia berada di posisi 41 dari 47 negara. ( Engkoswara, Suarakarya-online, 30 Nov 2004 )
 
Saat ini banyak sekali gedung sekolah tidak layak untuk pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar. Fasilitas pendidikan berupa lapangan olahraga, buku pelajaran, dan buku bacaan masih sangat kurang. Pengelolaan pendidikan juga belum efektif dan efisien. 
 
 Pelaksanaan sistem pendidikan belum mampu memandirikan anak didik kita. Itu antara lain karena profesionalisme dan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan, khususnya guru, relatif rendah. Tak kurang dari 65% masyarakat kita berpendidikan maksimal SD. Padahal kita sekarang ini dan ke depan dihadapkan pada tantangan global yang sangat dahsyat, yaitu kehidupan yang semakin transparan sehingga batas-batas budaya tidak jelas lagi. Persaingan jelas akan semakin berat, dan dalam hubungan kemitraan dituntut kearifan. 
 
 Tantangan itu memerlukan kualitas karakter bangsa yang handal. Sejauh mana keberhasilan pemerintah  saat ini mewujudkan kesejahteraan masyarakat, antara lain sangat ditentukan oleh upaya meletakan fondasi memajukan pendidikan nasional. 
 
Dalam kaitan itu, beberapa langkah perlu dilaksanakan. Pertama, Presiden, Wakil Presiden, dan segenap tokoh serta pimpinan masyarakat bisa menjadi suri tauladan dalam mengimplementasi nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara. Pancasila harus diaktualisasikan dalam kehidupan keseharian, baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, negara, juga dalam pergaulan dengan bangsa-bangsa di kawasan dan dunia internasional. 
 
Kedua, pemerintah perlu menempatkan pendidikan nasional sebagai prioritas utama kebijakan nasional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional hendaknya menjadi perhatian semua pihak di era otonomi daerah dan globalisasi yang sulit dihindari. 
 
Persaingan global, pada hakikatnya adalah persaingan kualitas sumberdaya manusia, persaingan sistem dan kinerja antarbangsa dan negara. Kuncinya adalah pendidikan yang berkualitas. Paradigma pembangunan terletak pada kekuatan pendidikan (education as a power), dan bukan lagi hanya pada kekuatan penguasaan pengetahuan (knowledge as a power). Pendidikan harus dikelola profesional dan konsepsional mendasar untuk jangka panjang minimal 5-15 tahun secara berkesinambungan. ( Engkoswara, Suarakarya-online, 30 Nov 2004 )
 
Muaranya adalah peningkatan profesionalisme dan peningkatan kesejahteraan pendidik dan tenaga kependidikan yang memadai, baik guru, dosen, pembimbing dan konselor, widyaiswara, tutor, pustakawan, laboran, praktisi pendidikan, juga pengelola dan penunjang penyelenggara pendidikan. Struktur kurikulum pun harus terpadu antara pendidikan umum, keahlian/keterampilan, dan individual. 
 
Melalui aktualisasi budaya Pancasila dan pengelolaan pendidikan secara konsepsional dan profesional, bangsa Indonesia diyakini mampu memiliki kualitas karakter bangsa yang tinggi dan mandiri. Dengan demikian, kita mampu bersaing dengan sehat dan kuat, bermitra sejajar dengan bangsa-bangsa yang telah lebih dahulu maju dan mampu berdiri tegak di atas jatidiri bangsa dan budaya Pancasila. Pemerintahan saat ini mempunyai kesempatan mewujudkan cita-cita tersebut. 
 
Selama ini, kalau kita amati secara cermat, pendidikan di Indonesia hanya memberikan sebuah pengertian kepada peserta didik, tanpa pernah bisa memfasilitasi pembentukan watak. Pendidikan kita terlalu didominasi oleh lingkaran kognitif. Konsep-konsep, norma-norma, dan nilai agama serta adat istiadat banyak dibaca dan dihafalkan begitu saja, tetapi sedikit sekali terefleksi untuk merenungi apa sesungguhnya yang telah dibaca dan dipelajari tersebut, sehingga implementasinya dalam kehidupan sangat jauh.

Mata pelajaran atau pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan yang menjadi pelajaran wajib selama ini dari tingkat sekolah dasar sampai perguruan tinggi, yang mengajarkan keutamaan, kebaikan, kehalusan budi, solidaritas, dan toleransi kepada sesama manusia sepertinya tidak berbekas. Yang muncul dalam kehidupan sehari-hari adalah justru sikap-sikap yang berlawanan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pelajaran tersebut.

Menurut Clark, apabila anak terus-menerus menghafal seperti kecenderungan pendidikan kita saat ini, maka belahan otak kirilah yang berfungsi. Hal ini akan menjadikan anak didik cranky dan sangat peka untuk merespons secara bermusuhan terhadap tegur sapa seseorang. Tidak mengherankan apabila sikap bermusuhan di antara anak didik kita mudah terwujud. ( Khaerudin Kurniawan, Pikiran Rakyat, 23 Agustus 2005 ). Ramachandran dalam bukunya Phantom In The Brain menyimpulkan bahwa bagian kiri otak ( left angular gyrus ) Gyrus memiliki kepekaan dalam matematika, sedangkan bagian kanan otak ( right angular Gyrus ) Gyrus memiliki kepekaan dalam seni. Di sinilah letak permasalahan tawuran dan sejenisnya karena diantaranya kurang terasahnya bagaian kanan otak yang berkenaan dengan seni dan kehalusan rasa , di samping keterpautan dengan kompleksitas faktor lain, seperti kesenjangan ekonomi dan masalah psikologis lainnya. Dalam penjelasan lebih lanjut, Ramachandran dalam bab “Through the Looking Glass”, menjelaskan jalur “bagaimana” dalamparietal lobe dan jalur “apa” dalam temporal lobe utuk menjelaskan hemineglect. Menurut Ramachandran, parietal bagian kanan bertindak sebagai bagian pencari cahaya yang mencakup juga bagian parietal kiri. Sedangkan bagian kiri disibukkan dengan bahasa, dan hanya memiliki sedikit saja fungsi untuk mencakup pencarian bagi parietal kanan. Kerusakan bagian parietal kiri bisa di cover oleh bagian kanan, tapi kerusakan bagian parietal kanan sangat sedikit sekali yang bisa di cover oleh bagian kiri parietal. Artinya jika anak didik hanya diberikan pendidikan yang secara teoritis mempekerjakan bagian kiri otak, maka jika terjadi suatu ‘permasalahan’ dengan otak bagian kirinya – fungsinya tidak bisa di cover oleh bagian kanan – yang tidak pernah dilatih untuk bekerja.

Apabila implementasi sistem pendidikan kita tetap dibiarkan seperti itu, maka para peserta didik kita yang kelak menjadi pemimpin dan pewaris bangsa ini hanya mampu membuat pidato-pidato atau rencana-rencana yang hanya enak didengar tanpa mampu mengimplementasikannya, seperti yang terjadi saat ini.

Nilai moral hanya sebatas imperatif yang tidak menyentuh pergulatan kehidupan manusia sehari-hari. Mereka tidak akan mampu memadukan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruk suatu perbuatan atau keputusan yang akan diambil. Mereka cenderung akan banyak bergantung pada pendapat orang lain tanpa mampu menyaringnya terlebih dahulu, sehingga mereka tidak akan mampu mandiri.

Dari sini tampak jelas bahwa agenda pen didikan kita ke depan harus mulai mengutamakan pendidikan yang mampu menciptakan manusia beretika, yaitu manusia yang mampu menggunakan akal dan perasaan untuk menimbang baik dan buruknya sesuatu dengan berlandaskan nilai-nilai luhur, norma-norma agama, dan adat-istiadat dalam perikehidupannya berdasarkan Pancasila. Manusia yang mampu untuk berbuat baik, berakhlak mulia, disertai kemampuan untuk berinovasi, kreatif, produktif, dan mandiri. Apabila anak didik Indonesia telah beretika, maka mereka akan mampu mengikis ketamakan, kekasaran, kebrutalan, keangkuhan, dan ketergantungan pada orang lain. Anak didik kita akan lebih beradab, bermoral, dan berakhlak mulia, sehingga mereka akan menjadi manusia yang cerdas dan berdedikasi bagi kehidupan bangsa.

Pentingnya beretika dalam berbagai bidang kehidupan di berbagai negara di dunia sudah banyak dibuktikan. Sebagai contoh adalah apa yang ditulis dalam buku Corporate Mystic yang mengemukakan hasil suatu penelitian longitudinal selama 25 tahun terhadap sejumlah eksekutif perusahaan-perusahaan berkelas dunia yang berhasil. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa profil atau tampang eksekutif yang berhasil memajukan perusahaan atau organisasi yang dipimpinnya adalah mereka yang memiliki dan menjalankan nilai-nilai spiritual yang luhur, seperti kejujuran mutlak (absolute honesty), fair play, prinsip berkontribusi kepada orang lain, lingkungan, dan sebagainya. Khaerudin Kurniawan, Pikiran Rakyat, 23 Agustus 2005 ).

Begitu juga kalau kita perhatikan, perusahaan-perusahaan yang maju secara langgeng adalah perusahaan yang mampu menghidupkan nilai-nilai spiritual yang religius dalam organisasinya. Mereka mampu menerapkan dan mengimplementasikan konsep beretika dalam perilaku berusaha. Sebagai contoh adalah perusahaan General Electric yang terkenal dengan konsistensi eksekutifnya dalam menjalankan sistem nilai yang dianutnya, perusahaan-perusahaan di Asia yang menerapkan konfusianisme, perusahaan Korea dengan doktrin Chaebol-nya, serta perusahaan Jepang dengan sistem Kaisha-nya yang memiliki semangat spiritual yang tinggi. Khaerudin Kurniawan, Pikiran Rakyat, 23 Agustus 2005 ).

Untuk menjadikan anak didik beretika, maka pendidikan yang diberikan harus berdasarkan nilai-nilai agama, budaya, dan adat bangsa yang bernilai luhur. Nilai-nilai ini ditanamkan (diinternalisasi) ke dalam diri anak didik harus secara komprehensif dan melekat dalam setiap mata pelajaran, bukan terpisah-pisah atau terkotak-kotak dalam mata pelajaran tertentu. Misalnya, hanya diajarkan dalam pelajaran Agama atau Pendidikan Kewar ganegaraan. Dalam setiap mata pelajaran seharusnya ada pesan nilai beretika tersebut untuk kemudian dihayati dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pendidikan beretika juga harus dilakukan di lingkungan keluarga dan masyarakat. Anak didik harus mendapatkan contoh atau keteladanan dari nilai-nilai pendidikan yang diterimanya dalam lingkungan tempat mereka berada. Tidak ada lagi jarak antara apa yang dipelajari di sekolah dengan realitas kehidupan di dalam keluarga dan masyarakat. Terlebih lagi waktu keberadaan mereka di sekolah sangat terbatas sedangkan waktu mereka berada di lingkungan keluarga dan masyarakat sangat banyak. Sekolah dan lingkungan masyarakat harus saling mengisi dalam pendidikan beretika ini.
Untuk memulai pendidikan beretika, sekolah, orang tua, masyarakat, dan pemerintah harus menyamakan persepsi tentang norma-norma atau nilai-nilai kehidupan seperti apa yang akan ditanamkan dalam diri anak didik. Norma atau nilai mana yang menjadi prioritas dan mana yang bukan prioritas dan semuanya haruslah berdasarkan pada Norma Pancasila . Norma-norma dan nilai-nilai yang telah disepakati ini kemudian dijadikan pedoman dalam merumuskan ciri-ciri logika, estetika, etika, dan keterampilan yang harus dimiliki anak didik. Misalnya, sekarang ini sebagian besar pelajar kita masih belum memiliki kepedulian sosial yang tinggi, suka tawuran, suka membeo, kurang sopan santun, miskin inisiatif dan kreativitas, kurang integritas, dan budaya kerja yang lemah, maka pihak sekolah, orang tua, masyarakat, dan unsur pemerintah harus segera memutuskan norma atau nilai seperti apa yang harus segera ditanamkan untuk memperbaiki hal ini.


BAB  IV  Kesimpulan & Saran
Pentingnya Penanaman Norma Pancasila dalam pencerdasan kehidupan bangsa

Kesimpulan
Pancasila sangat diperlukan sekali dalam rangka peningkatan kecerdasan bangsa. Segala usaha ini harus didasarkan kepada norma-norma Pancasila. Mulai dari contoh dari para pimpinan pemerintah, tokoh masyarakat, dan semua yang terlibat dalam proses pendidikan baik secara langsung, maupun tidak langsung. Jika nilai luhur ini dapat diterapkan, maka keluaran dari pendidikan kita bisa memiliki akhlak yang mulia, berbudi luhur, tidak egois, dan dapat bekerja sama. Nilai-nilai dan norma-norma tersebut harus ditumbuhkan sebagai garis haluan perilaku anak didik atas dasar pemilihan secara bebas dan pemahaman, bukan karena paksaan pihak lain. Nilai-nilai tersebut harus dijadikan nilai individu anak didik yang melekat. Apa pun alternatif dan konsekuensi yang dihadapinya, anak didik akan tetap memilih nilai atau norma yang telah disepakati tadi.

Berkenaan dengan teori yang berkenaan dengan otak, diharapkan penanaman nilai-nilai Pancasila ini bisa membantu bekerjanya otak kanan yang lebih dominan. Dengan dominasi ini, diharapkan siswa akan menjadi orang yang berperilaku halus dengan sikap moral yang tinggi. Pemberian nilai yang didasari kesadaran siswa dan dibantu dengan pemahaman teori bekerjanya otak oleh pendidik, terbukti bisa meningkatkan kecerdasan siswa ke arah yang positif.

Saran
Agar Pancasila bisa memberikan kontribusi yang positif dalam peningkatan kecerdasan bangsa, maka penerapan nilai luhur dan norma Pancasila ini harus didukung oleh semua pihak yang terkait baik dalam penyelenggaraan negara, maupun secara khusus dalam penyelenggaraan pendidikan. Untuk itu, para pemimpin dalam pemerintahan harus mulai memberikan contoh tauladan yang berdasarkan pada Pancasila. Demikian juga dengan para pendidik, ataupun orang terlibat dalam bidang pendidikan – haruslah juga mampu bertindak dan bertingkah laku berdasarkan Pancasila.


Tulisan ini dibuat sebagai salah satu Tugas dalam mata kuliah Filsafat Ilmu
Program S3 Teknologi Pendidikan - Univ Negeri Jakarta
Dosen Pengasuh : Prof. Dr. Diana Nomida.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar